Jurnalisme sastrawi
Oleh: Ichwan Prasetyo
(Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo 2008-2009)
Agustus 1964, di The New Yorker, jurnalis John Hersey menulis laporan jurnalistik “luar biasa” berjudul Hiroshima. Saking lur biasanya, sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia, karya jurnalistik John Hersey ini dipilih dan ditetapkan sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika abad XX. Dan sampai saat ini, karya John Hersey dan John Hersey sendiri selalu menjadi rujukan pelatihan gaya jurnalisme bernarasi sastra, jurnalisme sastrawi.
Karya John Hersey, sesuai judulnya, bercerita tentang kisah orang-orang “biasa” yang menjadi korban ledakan bom atom di Hiroshima. Format tulisannya seperti layaknya novel. Ceritanya mengalir, adegan demi adegan tergambar jelas, penokohan sangat kuat, konflik-konflik yang mengemuka begitu kuat dan watak setiap tokohnya juga sangat kuat. Namun jangan salah, Hiroshima bukanlah novel, Hiroshima adalah sebuah karya jurnalistik “biasa”. Hanya penulisannya yang “luar biasa”.
Hiroshima sejatinya adalah catatan reportase yang ditulis seorang wartawan bernama John Hersey. Selama tiga minggu, ia datang ke Jepang dan mewawancarai para korban bom atom. Jadi, Hiroshima adalah laporan kisah nyata, dengan bahan dikumpulkan menggunakan teknil reportase jurnalisme ”biasa” yang ditulis dengan gaya fiksi, naratif, dan bersumber dari tangan pertama, yaitu para korban bom atom.
John Hersey lahir tanggal 17 Juni 1914 di Tientsin, Cina. Ia lulus dari Cambridge University dan bekerja sebagai jurnalis yang menulis artikel untuk Time, Life dan The New Yorker. Selain Hiroshima, karya lainnya adalah The Wall (1950), sebuah novel sejarah tentang pembantaian Nazi terhadap Warsawa Ghetto. Karya lainnya, A Single Pebble, The War Lover, The Child Buyer, White Lotus. Karyanya berjudul A Bell For Adano memenangkan Pulitzer Prize pada tahun 1945. John Hersey meninggal pada 24 Maret 1993 di Key West, rumahnya.
Apa istimewanya John Hersey? Tak lain dan tak bukan, melalui Hiroshima, John Hersey menanam benih genre jurnalisme baru yang kini, di Indonesia, dikenal dengan sebutan jurnalisme sastrawi. Ada juga yang menyebutnya litetary journalism. Tentu saja jurnalisme sastrawi ini berbeda dengan jurnalisme sastra. Jurnalisme sastra lebih pas dimaknai sebagai karya jurnalisme yang membahas tentang sastra, tentang dunia sastra. Sedangkan jurnalisme sastrawi, tentu saja, lebih pas dimaknai sebagai karya jurnalisme yang bergaya sastra. Di sini gaya sastra yang dimaksud adalah selayaknya novel. Tetapi, seperti dikemukakan di atas, di bagian feature, karena merupakan sebuah karya jurnalisme, tentu saja hasil sebuah karya jurnalisme sastrawi bukanlah fiksi. Karya jurnalisme sastrawi adalah fakta yang dirangkai menjadi sebuah cerita, selayaknya novel.
Teknik pelaporannya sama dengan gaya penyajian ceita fiski dengan detail-detail atas subyeknya. Pembaca bebas berimajinasi berdasar fakta-fakta yang telah dirancang oleh si jurnalis. Fakta-fakta dirancang dan disusun dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana. Dalam Hiroshima, John Hersey menyajikan tokoh orang-orang biasa dengan karakter sangat kuat. Mereka adalah Nona Toshiko Sasaki (juru tulis), Dokter Masazaku Fujii (pemilik sebuah rumah sakit swasta), Nyonya Hatsuyo Nakamura (seorang penjahit), Pastur Wilhelm Kleinsorge (pendeta Jerman), Dokter Terafumi Sasaki (dokter bedah yang masih muda) dan Pendeta Kiyoshi Tanimoto (pendeta Gereja Metodis Hisroshima). Semua tokoh disajikan lengkap dengan latar belakang kehidupan dan aktivitasnya ketika bom atom jatuh di Hiroshima.
Kendati seperti fiksi, jurnalisme sastrawi bukanlah fiski. Pengaruh fiksi memang kental sekali. Hasilnya berupa bacaan yang sangat langsung, dengan realitas yang terasa konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya. Secara teknis, jurnalisme sastrawi bernuansa selayaknya feature yang diuraikan di muka. Namun aspek detailnya jauh lebih komplet. Karya jurnalisme sastrawi cukup pasa jika dimaknai sebagai feature yang panjaaaaaang…, dalaaaaaaaaaammm dan sangat detail. Dan ciri khasnya adalah disajikan sebagai rangkaian adegan demi adegan dengan tokoh-tokohnya yang berkarakter kuat, lengkap dengan nuansa konflik.
Jurnalisme selalu berdasar pada 5W+1H. Yaitu unsur who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa) dan how (bagaimana). Dalam jurnalisme sastrawi, keenam unsur ini tetap harus ada. Hanya interpretasinya diperluas dan diperdalam sehingga menghasilkan “sesuatu” yang lebih rinci, detail, kuat dan jalin-menjalin menjadi sebuah cerita. Who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur cerita, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif dan how menjadi narasi.
Robert Vare, jurnalis di The New Yorker dan The Rolling Stones, sebagaimana dikutip Andreas Harsono dalam Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, menguraikan, ada tujuh pertimbangan yang harus diperhatikan saat hendak menulis narasi. Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Jurnalisme sastrawi mutlak berlandaskan fakta. Setiap detail harus berupa fakta. Setiap ceita adalah fakta. Nama-nama orang bukan rekaan, tetapi nama sebenarnya. Temptnya nyata. Kejadiannya nyata. Waktunya nyata. Prinsipnya, tidak ada rekayasa, tidak ada fiksi. Hiroshima-nya John Hersey adalah laporan untuk surat kabar, kendati naratif. Verifikasi sebagai esensi jurnalisme juga harus menjadi landasan dalam membuat karya jurnalisme sastrawi.
Kedua, konflik. Konflik menjadi daya pikat dalam sebuah tulisan yang panjang. Konflik atau sengketa ini bisa berwujud pertikaian antar orang, pertentangan seseorang dengan hati nuraninya, pertentangan seseorang dengan adat istiadat atau norma-norma di sekelilingnya. Konflik bisa juga berupa perbedaan tafsir atas sesuatu. Konflik dalam sebuah cerita bisa bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis. Suatu konflik bisa mewujudkan satu atau dua konflik baru. Dengan konflik yang disajikan dalam sebuah jalinan ceita, tokoh-tokoh yang kuat karakternya, ceita yang panjang menjadi memikat. Pembacapun tidak bosan.
Ketiga, karakter. Dalam narasi wajib ada karakter-karakter. Karakter ini membantu mengikat ceita. Ada karakter utama. Ada karakter sampingan atau pembantu. Setiap karakter punya kepribadian menarik. Karakter utama hendaknya punya kepribadian kuat, unik, tidak datar, tidak mudah menyerah. Karakter-karakter yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh dalam Hiroshima masing-masing punya keunikan tersendiri. Setiap tokoh mampu menghadirkan warna tersendiri. Cerita yang muncul di seputar tokoh-tokoh juga sangat berwarna. Pendeknya, tautan antara tokoh, karakter, konflik dan keunikan masing-masing tokoh menghasilkan ceita yang mengalir, enak dibaca, menarik dan memunculkan imajinasi tanpa batas.
Keempat, akses. Jurnalis atau penulis yang hendak membuat karya jurnalisme sastrawi harus punya akses pada masing-masing karakter yang akan ditampilkan. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, catatan harian, kawan, saudara, kenalan, bahkan musuhnya. Dan masih banyak akses lainnya yang akan sangat membantu jurnalis memilih, menetapkan dan mewujudkan karakter yang diinginkannya dalam sebuah ceita. Namun semua harus tetap berdasar pada fakta dan disiplin verifikasi.
Kelima, emosi. Emosi bisa berupa rasa cinta, rasa benci, rasa muak, antipati, simpati. Bisa juga berupa pengkhianatan, kesetiaan, kebiasaan menjilat, sikap asal bos senang. Emosi menjadikan ceita menjadi hidup, berwarna, menarik. Emosi ini bisa dibolak-balik, bertautan satu dengan lainnya. Cinta bisa berubah jadi benci, kemudian muncul pengkhianatan, namun kemudian berakhir dengan penyesalan dan permaafan. Emosi bisa pula muncul dalam pergulatan batin, perdebatan pemikiran, dan sebagainya.
Keenam, perjalanan waktu atau time series. Hiroshima yang sesungguhnya laporan biasa untuk sebuah surat kabar berfungsi sebagaimana rangkaian potret. Laporan panjang sebuah jurnalisme sastrawi seperti rangkaian potret yang meracik sebuah film. Karenanya, ranah waktu menjadi penting. Tanpa ini, pembaca akan bingung menangkap detail ceita. Pembaca juga akan bingung menangkap masing-masing karakter dan konflik yang terjadi. Jadi, peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya adalah pada pola penyusunan struktur karangan. Bisa maju dan maju, kronologis dari awal hingga akhir. Bisa pula maju lalu mundur. Bisa juga dibolak-balik dan dirangkai-rangkai, asal pembaca tidak bingung.
Ketujuh, kebaruan. Ceita lama tidak menarik jika diulang-ulang. Cerita tentang bom atom di Hiroshima sudah ditulis banyak orang, dikaji banyak orang. Ceitanyapun sudah menjadi milik dunia. Namun John Hersey mampu menyajikan ceita baru melalui tokoh dan karakter yang dipilihnya, yang semuanya adalah orang biasa. Dan pada Maret 1999, Universitas New York menunjuk 37 ahli sejarah, wartawan, penulis dan akademisi untuk memilih 100 karya jurnalistik terbaik di Amerika pada abad ke-20. Hasilnya, Hiroshima menduduki peringkat pertama. Persoalan Ekosob akan sangat menarik, memunculkan efek sosial dan juga memunculkan banyak imajinasi yang menarik perasaan jika disajikan dengan narasi.
2 Replies to “Jurnalisme sastrawi”
Salam pak Ichwan. Maju Jurnalis Solo
kembali salam, majulah jurnalis Indonesia.tks