aji.solokota@email.com 

aji.solokota@email.com

Tentang komunitas gay, HIV/AIDS dan orientasi seksual

Kami Disingkiri, HIV/AIDS Menghampiri

 

Oleh: Ichwan Prasetyo

 

Panggilan akrabnya, Cut Tari. Pada pertengahan bulan Maret 2006, dia yang nama aslinya Mathius Sutaryono, meninggal akibat deraan berbagai penyakit yang menjangkiti tubuhnya. Ketika meninggal Cut Tari baru berusia 24 tahun. Cut Tari adalah satu dari kurang lebih 700 orang anggota komunitas gay di Kota Solo.

Cut Tari meninggal akibat daya tahan tubuhnya yang menurun drastis. Sejumlah kawannya di komunitas gay Solo tahu persis, pada saat Cut Tari meninggal, tubuh ringkihnya tengah berjuang keras melawan sindrom AIDS (acquired immunodeficiency syndroma). Sejumlah kawan Cut Tari mengetahui persis dia tengah didera sindrom AIDS stadium empat.

Pada kondisi saat ini, status Cut Tari yang gay dan sindrom AIDS yang menjangkitinya, jika diketahui masyarakat luas akan memunculkan stigma negatif ganda. Predikatnya sebagai gay sudah dipandang negatif, abnormal, marginal dan bahkan kalangan warga di sekitar tempat tinggal orang tua Cut Tari akan menganggapnya sebagai sampah masyarakat.

Hal ini terbukti ketika sejak remaja, Cut Tari sudah disingkirkan dari keluargnya yang tinggal di kawasan Tipes, Kota Solo. Pilihan Cut Tari sering berdandan, tidak bisa diterima orang tuanya. Kedua orang tuanya yang bercerai kemudian memilih sikap tidak peduli terhadap Cut Tari dan bahkan kemudian ibunyapun menganggap Cut Tari bukan darah dagingnya.

Ihwal panggilan Cut Tari, menurut sejumlah gay yang biasa mangkal bersamanya di beberapa lokasi mangkal gay di Kota Solo, merupakan panggilan yang diberikan untuk atribusi atas penampilannya sebagai gay feminim yang “mengundang” bagi kalangan gay maskulin.

Mengapa panggilan Cut Tari yang disematkan padanya, sejumlah kawannya tidak mengaku tidak tahu persis. Tetapi biasanya, menurut penjelasan beberapa gay yang ditemui di sejumlah lokasi mangkal di Kota Solo, komunitas gay di kota ini memang biasa memberikan julukan pada sosok-sosok populer diantara mereka.

Julukan yang diberikan sesuai dengan statusnya sebagai gay feminim atau gay maskulin. Mungkin julukan Cut Tari diberikan karena pada wajahnya ada bagian yang mirip dengan wajah Cut Tari yang artis itu. Adapun mengenai gay feminim dan gay maskulin sebenarnya lebih pada pilihan “posisi” kalangan gay di Solo ketika berhubungan seks diantara mereka. Gay feminim biasanya berposisi sebagai “perempuan” dalam relasi seksual dengan gay maskulin yang berposisi sebagai “laki-laki sejati”.

Di tengah komunitas gay di Kota Solo, Cut Tari juga mendapat predikat sebagai bom sex. Menurut penjelasan sejumlah gay yang kenal dengannya, julukan ini diberikan karena ketenarannya di kalangan gay maskulin. Tentu saja ketenaran ini terkait dengan “keahlian”-nya berposisi sebagai perempuan dalam relasi seksual.

Sikap peminggiran terhadap Cut Tari ini masih terjadi ketika gay yang pernah menjadi bom sex di salah satu diskotik di Kota Solo ini meregang nyawa akibat deraan berbagai penyakit seiring dengan sindrom AIDS yang dialaminya. Ketika beberapa hari dirawat di rumah sakit, tak satupun keluarga dekat Cut Tari datang menengok atau menunggui.

Hanya saudara jauhnya yang kemudian beriba hati bersedia mengurus semua keperluan Cut Tari saat di rumah sakit hingga meninggalnya. Kehadiran Bude-nya ini atas usaha keras sejumlah kawan Cut Tari sesama gay di Solo yang mendekatinya dan menjelaskan kondisi Cut Tari di saat-saat terakhir hidupnya.

Sejumlah kawan dekat Cut Tari, sesama gay, yang biasa ngumpul di kawasan Sriwedari menuturkan, Cut Tari terpapar virus HIV dan kemudian terkena sindrom AIDS sedikit banyak dipengarahi oleh gaya hidupnya. Sebagai gay, Cut Tari berlatar belakang keluarga broken. Orang tuanya bercerai. Ini mengakibatkan gaya hidup Cut Tari juga agak broken.

Ketidaknyamanan di lingkungan keluarga dicarikan kompensasi dengan pergaulan sedikit bebas di kalangan gay di Solo. Menurut sejumlah kawannya sesama gay, dipastikan Cut Tari terinveksi HIV dan kemudian terkena sindrom AIDS karena sering ganti pasangan seks. Dan perilaku seksualnya tidak menerapkan mekanisme pertahanan terhadap potensi infeksi HIV dan sindrom AIDS.

Sebagai gay sekaligus ODHA, semasa hidupnya Cut Tari memang menanggung beban berlipat ganda dibanding manusia lainnya. Keluarga yang cenderung menolak orientasi gay-nya membuatnya tak pernah berpikir untuk membuka status ODHA-nya.

Sebagai manusia yang termarginalkan, dianggap abnormal, bahkan dianggap sampah masyarakat, semakin tersisih dengan status ODHA. Sampai dengan meninggalnya, keluarga Cut Tari, menurut sejumlah kawannya sesama gay, tak pernah memberikan dukungan atau empati atas kondisi Cut Tari.

Apa yang terjadi pada Cut Tari adalah satu gambaran kehidupan ODHA yang kebetulan berasal dari komunitas gay yang terpinggirkan, dianggap abnormal dan belum diterima oleh masyarakat umum sebagai bagian dari masyarakat.

Peristiwa peminggiran bahkan pengeluaran dari keluarga yang dialami kalangan gay di Kota Solo memang cukup banyak terjadi. Selain Cut Tari ada seorang gay bernama Dwiyan (bukan nama sebenarnya) yang pernah mengalami “hidup sengsara” karena diusir dari keluarganya. Pengusiran ini terjadi ketika salah satu saudara Dwiyan memergokinya tengah “bergelut” tanpa busana dengan kawan laki-lakinya di kamar.

Kejadian ini membuat heboh keluarga Dwiyan. Sidang keluarga digelar. Ujungnya, seluruh keluarga Dwiyan sepakat mengecap Dwiyan sebagai manusia kotor dan tidak layak lagi tinggal di rumah. Akhirnya, Dwiyan meninggalkan rumah bersama pacarnya dari luar Kota Solo yang ternyata juga sama-sama telah diusir dari keluarganya.

Dalam kondisi terusir dari keluarga, komunitas sesama gay-lah yang kemudian menjadi rumah kedua. Gay yang terusir dari keluarga dan lingkungan akan dibantu oleh sesama gay. Biasanya ada yang mencarikan pekerjaan. Jika di dalam Kota Solo tak ada pekerjaan, akan dicarikan ke luar kota dengan memanfaatkan jaringan sesama gay di kota-kota lain.

***

Infeksi HIV dan sindrom AIDS yang terjadi pada Cut Tari sejatinya tak beda dengan penyakit lainnya. Persoalannya, HIV/AIDS secara sosiologis telah dikonstruksi menjadi fakta sosial. Sosok yang terinfeksi HIV/AIDS akan menjadi pokok pembicaraan jika identitasnya terbuka.

Dan sayangnya, sejauh ini pokok pembicaraan pada ODHA cenderung bersifat negatif. Bukannya mengusung empati, tetapi justru memojokkan ODHA sebagai sumber masalah sosial. Yang jelas, masyarakat memandang ODHA tidak dalam proporsi yang seharusnya.

Sejatinya, layak dipertanyakan apa bedanya terinfeksi HIV dengan terinfeksi virus flu. Sama-sama bersifat klinis medis, wewenang penanganan pada dokter atau tenaga medis. Ternyata ketika diangkat dalam ranah sosial, HIV/AIDS punya posisi berbeda.

Orang yang terserang virus flu akan dimaklumi sebagai orang yang tengah terganggu kesehatannya tanpa harus kehilangan posisinya dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Tetapi ketika orang diketahui terinfeksi HIV atau malah terpapar sindrom AIDS, langsung saja orang tersebut akan kehilangan posisinya di tengah pergaulan sosial kemasyarakatan. Yang diterimanya kemudian adalah stigma negatif, terpinggirkan, termarginalkan dan bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Dan berdasar perkembangan penularan HIV/AIDS saat ini, siapapun berpotensi terinfeksi HIV maupun terpapar sindrom AIDS.

Bisa dibayangkan bagaimana jika persoalan seperti ini terjadi pada orang yang berasal dari komunitas yang sudah dicap negatif oleh masyarakat umum. Seperti Cut Tari yang berasal dari komunitas gay, tanpa terpapar HIV/AIDS-pun, dia sudah terpinggirkan, termarginalkan, menyandang stigma negatif dan bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat.

Mitos

Ashadi Siregar dalam buku Aids, Gender & Kesehatan Reproduksi Pintu Menghargai Manusia Bagi Media (LP3Y, Ford Foundation: 2002) mengemukakan pernah berkembang pemahaman, dan pada sebagian besar masyarakat anggapan ini masih lestari, bahwa HIV/AIDS dapat ditangkal dengan iman dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma agama.

Pandangan ini bersumber dari mitos muncul atau menularnya HIV/AIDS adalah berawal dari cara hidup tertentu yang tidak selaras dengan norma-norma agama dan bahkan merupakan kutukan Tuhan. Jika anggapan atau pandangan ini diterapkan pada Cut Tari, bisa dibayangkan kehidupan macam apa yang harus dijalaninya.

Dia akan diposisikan sebagai makhluk hidup yang tak layak mendapat tempat di muka bumi ini. Sayangnya, di masyarakat Kota Solo anggapan seperti ini masih cukup banyak yang meyakininya. Komunitas gay belum diterima oleh elemen masyarakat lain dan belum mendapatkan empati.

Konstruksi sosial yang tidak adil ini mengakibatkan penindasan, peminggiran dan penihilan. Ini mengakibatkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti komunitas gay akan mengalami penderitaan ganda jika terinfeksi HIV atau terkena sindrom AIDS.

Secara klinis medis, terinfeksi HIV sudah merupakan beban tersendiri. Apalagi ketika harus menghadapi infeksi virus lain ketika sudah masuk stadium AIDS. Ketika persoalan yang sejatinya murni klinis ini ditambah dengan kontsruksi sosial atas HIV/AIDS yang sejatinya tidak proporsional itu, ODHA akan menerima beban penderitaan ganda.

Padahal sebagai manusia, ODHA jelas butuh tempat untuk mendapatkan empati dan dukungan agar bisa menjalani kehidupan selanjutnya. Setidaknya ketika masih dalam taraf terinfeksi HIV bisa mendapatkan tindakan medis untuk mencegah sindrom AIDS. Dan pada masa seperti ini jelas dibutuhkan peran orang-orang terdekat untuk memberikan empati dan dukungan agar konsisten menjalani terapi pencegah sindrom AIDS.

Dalam kasus Cut Tari, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kota Solo, dalam hal ini lingkungan terdekat seperti keluarga dan tetangga, belum mampu memberikan empati pada komunitas masyarakat yang nyempal dari pakem kehidupan yang diyakini sebagian besar masyarakat.

Masyarakat memahami, relasi seksual normal jika dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa dalam ikatan pernikahan. Jika kemudian muncul gay di tengah masyarakat, laki-laki yang memiliki relasi seksual dengan sesama laki-laki, bangunan pemahaman sosial guncang.

Diskriminasi terhadap gay muncul dalam banyak sektor. Yang paling sederhana, cukup banyak gay di Kota Solo yang mendapatkan sikap sinis dari dokter ketika memeriksakan diri ke klinik khusus penyakit infeksi menular seksual (IMS). Sikap sinis ini muncul tiba-tiba ketika si gay berterus terang kepada dokter tentang riwayat hubungan seksualnya. Hal ini dituturkan dalam beberapa kali perbincangan dengan kelompok-kelompok gay di sejumlah lokasi mangkal di Kota Solo.

Contoh lainnya, ada beberapa gay yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kota (Pemkot) Solo yang memilih sikap mendua dengan sekuat tenaga menutupi status gay-nya dan berusaha untuk tetap menunjukkan jati diri sebagai “laki-laki sejati”. Pilihan ini diambil karena, menurut seorang gay yang bertugas di lingkungan Sekretariat Daerah (Setda) Kota Solo, karena pasti terjadi peminggiran terhadapnya jika berterus terang atas status gay-nya.

Gay yang PNS ini mengatakan pernah mendapatkan cerita dari kenalannya sesama gay di Jawa Barat yang dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja hanya karena mencoba bersikap realistis dengan membuka diri atas status gay-nya. Gay PNS di Setda Kota Solo ini, berkeyakinan jika dirinya membuka status gay-nya maka karirnya sebagai PNS akan pupus.

Dalam kondisi bersikap mendua ini, menurut gay yang sampai saat ini tidak berani muncul di lokasi nongkrong komunitas gay di Solo, memunculkan banyak pertanyaan dari rekan-rekannya. Pertanyaan yang muncul biasanya mengapa tidak menikah, mengapa tidak punya pacar (perempuan), mengapa ketika ada perempuan cantik yang dicoba dijodohkan oleh kawannya, malah ditolak.

Diskriminasi terhadap komunitas gay juga mewujud ketika komunitas ini mencoba berkegiatan secara massal dengan membuka identitas kelompoknya sebagai komunitas gay. Slamet Rahardjo, Direktur Yayasan Gessang, seorang gay yang pernah dibina Dede Oetomo, dan menjadi pelopor pengorganisasian gay di Kota Solo, menuturkan cukup banyak peristiwa yang menghambat upaya kegiataan bersifat massal yang dilakukan komunitas gay di Solo.

Pada awal tahun 2005 lalu, jelas Slamet, sejumlah gay di Solo mengajukan proposal permohonan izin penyelanggaraan acara kampanye pengenalan HIV/AIDS kepada Pemkot Solo. Oleh otoritas yang mengurusi perizinan acara massal, panitia yang seluruhnya gay diminta mengubah proposal agar orang yang membacanya tidak memahami bahwa acara yang digelar adalah acara yang diselenggarakan oleh para gay dan diperuntukkan bagi gay pula.

Intinya, waktu itu otoritas di Pemkot Solo tidak bersedia mengeluarkan izin acara massal jika acaranya memunculkan identitas gay. Dan ternyata begitu proposal diubah, di dalamnya sama sekali tidak muncul kata atau kalimat yang memunculkan pemahaman bahwa acara itu diselenggarakan para gay dan untuk para gay, izin penyelenggaraan acara tak lama kemudian terbit.

 

Komunitas gay di Kota Solo

Komunitas gay di Kota Solo muncul dalam bentuk kegiatan reguler dan terorganisasi sejak kurang lebih 14 tahun lalu. Namun eksistensi gay di tengah masyatakat Kota Solo dipastikan sudah seumur Kota Solo itu sendiri.

Tokoh komunitas gay di Indonesia,  Dede Oetomo, melalui bukunya Memberi Suara Pada Yang Bisu (Galang Press, Yogyakarta, September 2001) memaparkan secara jelas bahwa ternyata homoseksualitas di kawasan nusantara, termasuk di Kota Solo sudah memiliki akar historis yang cukup dalam.

Tinjauan antropologis yang dilakukan Dede menunjukkan bahwa dalam kebudayaan masyarakat Aceh, Bugis, Bali, Dayak, Jawa, Madura, Minangkabau, Papua, dan Toraja, homoseksualitas sudah dikenal jauh-jauh hari. Di daerah-daerah tertentu, homoseksualitas bahkan sampai dilembagakan secara sosial.

Hingga awal abad ke-20, di Ponorogo misalnya, dikenal adanya gemblak, lelaki muda yang dipiara oleh seorang warok (orang sakti). Di Sulawesi Selatan, sampai akhir tahun 1920-an, ada pranata berupa tarian yang dilakukan oleh anak laki-laki dengan pakaian kewanita-wanitaan, yang ketika menari diraba-raba badannya dan diselipi uang pada kutangnya.

Selain itu, Snouck Hurgronje, menurut penuturan Dede dalam bukunya, ketika bertugas melibas perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda melaporkan, laki-laki Aceh sangat menggemari budak lelaki remaja dari Nias yang menjadi penari untuk ‘melayani nafsu tak alamiah orang-orang Aceh’.

Tradisi Jawa, yang salah satu akarnya adalah Solo, juga mengenal “secara baik” homoseksualitas ini. Dalam Serat Centhini banyak gambaran adegan homoseksual yang cukup grafis, tanpa ada kesan menilai atau menghakimi.

Sayangnya, menurut Argyo, fakta antropologis ini kurang begitu menjadi perhatian masyarakat umum, sehingga keberadaan kaum homoseks betul-betul tak dihiraukan. Malah, pembicaraan tentang mereka ditabukan.

Gay bermakna sebagai manusia berjenis kelamin laki-laki, berpenampilan selayaknya laki-laki normal, namun memiliki orientasi seksual suka dengan sesama laki-laki. Seorang gay lebih memilih berhubungan seksual dengan laki-laki dibanding dengan lawan jenis, perempuan.

Namun di Kota Solo cukup banyak gay yang tetap “berusaha” menjalin hubungan seksual dengan perempuan dalam ranah lembaga perkawinan. Kendati demikian, dalam kehidupan sehari-hariorientasi seksualnya tetap pada laki-laki. Hubungan seks dengan perempuan (isteri) lebih sekadar sebagai kamuflase atas orientasi seksualnya yang bagi masyarakat dinilai nyleneh (di luar semestinya).

Sejatinya istilah gay identik dengan istilah MSM (man who have sex with man). Dalam komunitas gay di Kota Solo, penggunaan istilah MSM sebagai identifikasi komunitas dan pilihan orientasi seksual mereka gunakan sejak masuknya Yayasan Gerakan Advokasi Sosial dan Hak Azasi Manusia untuk Gay (Gessang) Kota Solo. Pengenalan istilah MSM juga diinisiasi oleh aktivis Yayasan Gessang.

Diektur Yayasan Gessang Kota Solo, Slamet Rahardjo, menjelaskan, penggunaan istilah MSM lebih sebagai upaya membawa komunitas gay di Kota Solo sebagai bagian dari komunitas gay di lingkup regional, nasional dan internasional. Dan sebutan yang disepakati, menurut Slamet, adalah MSM yang sebenarnya juga tidak berbeda dengan gay. Yakni, sebutan untuk manusia berjenis kelamin laki-laki tetapi memiliki orientasi seksual untuk menyukai berhubungan seks dengan sesama laki-laki.

Namun sejatinya ada perbedaan mendasar antara gay dan MSM. MSM mencakup pengertian yang lebih luas. Di dalamnya termasuk gay, yang bermakna “laki-laki sejati” yang orientasi seksualnya menyukai sesama laki-laki dan Waria. Gay sendiri terbagi menjadi dua, yakni gay feminim dan gay maskulin.

Pengkategorian ini lebih pada kedudukan gay dalam kaitan dengan orientasi seksual ketika termanifestasi dalam hubungan seksual sesama laki-laki. Gay feminim berperan sebagai “perempuan” ketika berhubungan seks dengan gay maskulin yang tetap berperan sebagai “laki-laki”  ketika berhubungan seks. Cut Tari adalah salah seorang gay yang tergolong gay feminim.

Lebih lanjut, terkait dengan historis pengorganisasian gay di Kota Solo, Slamet yang sudah cukup lama membuka diri atas status gay-nya, menjelaskan kurang lebih 14 tahun lalu komunitas gay di Solo memiliki agenda pertemuan reguler setiap tahun dengan acara “September Ceria”.

Acara yang digelar setiap awal bulan September bertempat di kawasan atraksi wisata pegunungan Tawangmangu, Karanganyar ini, biasanya dihadiri 700-an gay dari seluruh Indonesia. Format acaranya lebih pada pertemuan lintas komunitas gay sebagai wadah ekspresi atas eksistensi mereka yang terpinggirkan dari masyarakat luas.

Menurut Slamet, selama bertahun-tahun forum September Ceria inilah yang menjadi forum pertemuan yang selalu ditunggu-tunggu komunitas gay dan juga MSM di Kota Solo. Setiap kali menjelang bulan September, kalangan gay di Kota Solo sibuk membentuk kepanitiaan untuk suksesnya gelar acara September Ceria.

Kepanitiaan untuk September Ceria inilah embrio organisasi gay di Kota Solo. Di luar gelar acara September Ceria, menurut Slamet, komunitas gay di Kota Solo tak memiliki jalur ekspresi atas eksistensi mereka secara lintas usia, lintas tingkat ekonomi, lintas latar belakang pendidikan dan lintas atribut sosial lainnya di internal komunitas gay di Kota Solo.

Di luar September Ceria, forum dan kelembagaan gay yang acapkali muncul dalam skala sempit, seperti pertemuan kalangan desainer atau seniman yang sama-sama berorientasi seksual gay. Setelah beberapa kali terjadi peristiwa pembubaran acara yang diorganisasikan dan dihadiri kalangan gay, gelar acara September Ceria meredup.  Salah satu acara komunitas gay di Solo yang bubar karena ancaman kelompok masyarakat yang tidak suka dengan komunitas ga di Solo adalah kegiatan Rapat Kerja Nasional Jaringan Lesbian dan Gay (JLGI) pada September 1999. JLGI di Solo ini diancam akan diserang oleh Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), sehingga dibatalkan.

Sebagai kompensasi sekaligus siasat untuk menghindari konfrontasi dengan elemen masyarakat yang menilai gay sebagai abnormal, penyimpangan sosial dan sampah masyarakat, komunitas gay di Solo mulai menggelar pertemuan-pertemuan justru di dalam Kota Solo sendiri. Acara yang digelar dibalut dengan suasana lain yang tidak menampakkan identitas sebagai acaranya kalangan gay.

Dalam ranah pergaulan informal, menurut Slamet, sebenarnya komunitas gay di Kota Solo sudah sering muncul di tengah masyarakat dalam bentuk bertemu di lokasi-lokasi tertentu yang biasa digunakan mangkal kalangan gay.

 

Nongkrong sebagai wahana identitas diri

 

Hingga saat ini di Kota Solo ada sejumlah lokasi yang merupakan lokasi mangkal favorit bagi kalangan gay Solo. Lokasi-lokasi dimaksud adalah kawasan segaran Taman Sriwedari, kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, Joglo Sriwedari, depan eksbioskop Solo Theatre, Solo Grand Mall, lokasi wedangan Sraten, depan Lembaga Pemasyarakatan Solo, kawasan Terminal Tirtonadi, kawasan Gilingan, kafe Warung Jawi, music room sejumlah hotel, sejumlah diskotek dan beberapa lokasi lain.

THR Sriwedari, Joglo Sriwedari, segaran Sriwedari, Gilingan merupakan lokasi yang sudah lama menjadi tempat nongkrong komunitas gay di Kota Solo. Solo Grand Mall adalah lokasi paling anyar. Di mal ini selain mangkal gay nonkomersial baik feminim maupun maskulin, mangkal pula sejumlah gay yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) yang khusus melayani kalangan MSM.

PSK gay yang mangkal di Solo Grand Mall rata-rata gay yang bekerja secara freelance. Pemasaran yang mereka lakukan melalui jaringan eksklusif via telepon. Sedangkan di lokasi lain seperti kawasan Sriwedari atau Gilingan, banyak mangkal gay PSK yang memasarkan diri secara terbuka di pingir jalan. Di antara mereka sebagian besar adalah kalangan MSM-Waria.

Struktur sosial komunitas MSM di Solo, menurut sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Solo, Argyo Damartoto, terdiri dari kalangan Waria, gay feminim dan maskulin, serta gay komersial yang berprofesi sebagai PSK. Menurut Argyo, kalangan Waria menjadi bagian integral dari komunitas MSM di Kota Solo dan bisa digolongan dalam MSM feminim.

“Waria jelas masuk kategori MSM karena secara fisik mereka laki-laki dan orientasi seksualnya hanya tertarik dengan laki-laki yang berpenampilan macho atau jantan. Jadi secara umum, Waria yang memang dalam penampilan fisiknya muncul dengan berdandan selayaknya perempuan bisa digolongkan sebagai MSM feminim. Dan sejatinya, berdasar pengamatan yang telah lama saya lakukan, Waria ketika tidak berdandanpun biasa berhubungan seks dengan laki-laki, MSM maskulin,” jelas Argyo.

Benny D Setianto dalam buku Pergulatan Wacana HAM di Indonesia (Mascom Media, 2003) secara jelas mengulas konstruksi sosial MSM justru dibentuk oleh Waria. Waria adalah akronim Wanita Pria. Secara sederhana dapat dipahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki sifat kewanitaan lebih dominan dibanding kelelakiannya.

Pemahaman terhadap Waria sebenarnya tidak sesempit itu. Pemahaman seperti itu hanya berbasis pada asumsi adanya sifat-sifat tertentu yang bisa dimiliki secara eksklusif oleh laki-laki dan ada sifat-sifat tertentu yang dimiliki secara eksklusif oleh perempuan.

Ada beberepa komunitas masyarakat, menurut Benny, yang dapat digolongkan sebagai Waria. Pertama, kelompok yang masih memilih untuk berpenampilan sebagai laki-laki tetapi dalam orientasi seksualnya mereka lebih menyukai sesama laki-laki dibanding lawan jenis (perempuan). Kelompok inilah yang saat ini menyandang predikat sebagai gay.

Pada kelompok ini bisa dikategorikan pada dua bagian, yakni mereka yang meskipun masih berpenampilan sebagai laki-laki namun lebih memilih berperan sebagai perempuan ketika berhubungan (seksual) dengan laki-laki lain atau gay feminim. Kemudian mereka yang memilih memainkan peran laki-laki dalam pola hubungan homoseksual ini, alias gay maskulin.

Kedua, kelompok yang mulai merubah penampilannya dengan simbol-simbol yang biasa dikenakan perempuan dalam masyarakat. Pada kelompok ini dapat digolongkan mereka yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau yang hanya pada saat-saat tertentu saja menampilkan diri seperti perempuan dalam masyarakat.

Ketiga, kelompok yang terdesak karena tuntutan ekonomi dan kemudian mendapatkan peluang dengan adanya kemungkinan bagi dirinya untuk merubah diri dengan menyediakan pelayanan sebagaimana yang diberikan oleh kelompok pertama atau kedua.

Keempat, kelompok yang hanya memanfaatkan adanya kelompok-kelompok di atas sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka. Yang termasuk dalam kelompok ini biasanya dalam kehidupan sehari-hari akan menolak mati-matian jika disebut sebagai gay atau homo bahkan biseksual sekalipun. Kelompok ini juga memasukkan mereka yang sekadar mencoba-coba orientasi seksual yang menyimpang dari kebiasaannya.

Menurut Argyo, dengan konstruksi sosial yang cukup rumit ini, mengakibatkan cukup banyak anggota komunitas gay di Kota Solo yang dalam kehidupan sehari-harinya berkeluarga dengan perempuan dan memiliki anak. Namun, menurutnya, orientasi seksual mereka sebenarnya tetap menyukai sesama laki-laki.

“Gay yang berkeluarga, memiliki isteri dan anak,  sebenarnya tak lebih dari sekadar “cari aman” dalam konteks kehidupan sosialnya. Dengan menikah (dengan perempuan) dan beranak, di mata masyarakat menjadi normal. Sementara sebenarnya orientasi seksualnya tetap dominan menyukai sesama laki-laki,” jelas Argyo.

 

Multi sektor yang egaliter

Konstruksi sosial gay di Solo, menurut Argyo, selaras dengan analisa Benny D Setianto dalam buku Pergulatan Wacana HAM di Indonesia. Gay di Kota Solo itu multi sektor dan multi kelas. Mereka berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, latar belakang etnis, latar belakang pendidikan dan latar belakang usia.

Istimewanya, ketika mereka berkumpul atau bertemu dalam satu komunitas, sekat-sekat itu tidak ada.  Di internal komunitas gay dan lebih luas MSM, mereka sangat egaliter. Ketika gay dengan berbagai latar belakang itu ketemu di lokasi mangkal misalnya, mereka seperti punya bahasa yang sama. Ikatan sosial mereka sangat kuat.

Menurut Argyo, rata-rata komunitas gay di negara lain juga demikian. Menurutnya, inilah sisi baik dari konstruksi sosial komunitas gay di tengah sikap masyarakat yang masih menolak eksistensi mereka.

Di dalam komunitas gay tidak ada sikap saling mendiskriminasi. Secara sosial sikap sangat egaliter ini juga akibat posisi mereka yang marjinal, minoritas, kecil yang mengakibatkan interaksinya yang terjadi hanya diantara mereka saja. Solidaritas mereka juga sangat tinggi.

Terkait dengan hal ini, menurut Nuraini Juliastuti melalui artikelnya di Newsletter Kunci, No 5, April 2000, ada dua mainstream utama dalam wacana homoseksualitas modern, yaitu: ‘closet’ (kloset) dan ‘coming out’ (keluar). Kedua wacana ini menurut Argyo juga sudah memanifes dalam komunitas gay di Kota Solo.

Term ‘kloset’ digunakan sebagai metafor untuk menyatakan ruang privat atau ruang subkultur dimana seseorang dapat mendiaminya secara jujur, lengkap dengan keseluruhan identitasnya yang utuh.

Bagi seorang gay, menurut Slamet, saat paling membahagiakan adalah ketika berada di dalam komunitas sesama gay. Di sini mereka bisa bebas berekspresi, bebas mengemukakan jati dirinya. Lain halnya jika sudah lepas dari komunitas, semisal pulang ke rumah dari lokasi mangkal, pilihannya hanya satu yakni bersikap “normal” dan menyembunyikan orientasi seksualnya.

Sedangkan term ‘coming out’ digunakan untuk menyatakan ekspresi dramatis dari ‘kedatangan’ yang bersifat privat atau publik. Pemakaian term ‘closet’ dan ‘coming out’ disini bermakna sangat politis. Narasi ‘coming out of the closet’ menciptakan pemisahan antara individu-individu yang berada didalam dan diluar kloset.

Kategori yang pertama diberi makna sebagai orang-orang yang menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi sosial yang diterima dari masyarakat. Contoh yang paling sederhana, tutur Slamet, gay feminim akan mati-matian menyembunyikan sikap “kemayunya” ketika berada di lingkungan tempat tinggal yang notabene asing dengan gay.

“Gay feminim kadang merasa puas diri, bangga jika bisa berdandan. Tetapi hal ini hanya bisa dia lakukan ketika berada di internal komunitas gay. Atau setidaknya berada di komunitas yang bisa menerimanya. Kalaupun tidak bisa menerima, ya minimal tidak peduli dengan keberadaannya. Coba bayangkan seorang yang di tempat tinggalnya dikenal sebagai laki-laki tiba-tiba muncul dengan gaya kenes, kemayu sekaligus berdandan, bisa dicap kesurupan dia,” tutur Slamet.

‘Kloset’ kemudian bermakna sebagai strategi akomodasi dan pertahanan yang diproduksi untuk menghadapi norma-norma masyarakat heteroseksual di sekitarnya. ‘Closet practice’ adalah respon terhadap strategi represif yang diterapkan oleh masyarakat heteroseksual untuk mengeluarkan homoseksual dari kehidupan masyarakat. Strategi ini, secara global, mulai dilakukan pada tahun 1940-an, tapi kemudian mulai diintensifkan pada tahun 1950-an dan 1960-an. Hal ini memantapkan posisi ‘kloset’ sebagai konsep identitas seksual yang berbeda dan sebagai sebuah simbol kehidupan ganda.

 

Strategi bertahan atas marginalisasi

Dengan realitas seperti ini, imbuh Argyo, bisa dipahami jika kemudian masyarakat memposisikan gay sebagai the other community, dan berbeda dengan komunitas masyarakat umum. Dan dalam kondisi seperti ini bisa dipahami pula, jika kemudian komunitas gay menterjemahkan strategi pertahanan terhadap eksistensinya dengan berbagai cara.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, dengan realitas seperti itu apakah gay memang sesuatu yang abnormal? Freedman yang menulis buku Homosexuals May Be Healthier Than Straights (1975), menyatakan bahwa homoseksual adalah sesuatu yang normal, sama seperti orang-orang lain, dan mungkin bahkan lebih sehat dari kaum heteroseksual.

Freedman kemudian juga memperkenalkan konsep utama ‘homophobia’. Topik penting yang dibahas dalam sosiologi, jelas Argyo, adalah mengubah fokus dari memandang homoseksual sebagai salah satu tipe individu ke respon sosial terhadap homoseksualitas, yaitu perubahan konstruksi sosial homoseksualitas secara radikal.

Dalam tataran global, mulai tahun 1980-an ada perubahan tren dalam komunitas gay dan lesbian, yaitu perhatian yang besar kepada cultural studies dan persoalan HIV/AIDS. Persoalan AIDS dalam komunitas gay dan lesbian menjadi penting karena penyakit ini seringkali digunakan sebagai alat politis untuk menempatkan kalangan homoseksual dalam posisi yang merugikan.

Dan dalam beberapa hal terbukti bahwa menyerang kaum homoseksual lewat isu kesehatan cukup ampuh, karena masyarakat biasanya dengan mudah membenarkan kekhawatiran terhadap penyakit serius semacam HIV/AIDS ini.

***

Hidup sebagai seorang gay, tutur Slamet, bagi mayoritas gay di Kota Solo  memang masih menjadi sesuatu yang sulit, baik secara sosial, politik, maupun budaya. Homoseks selama ini masih dilihat secara apriori, sebagai suatu epidemi sosial yang berhubungan dengan sikap moral kurang terpuji.

Asumsi apriori yang sudah memanifes bahkan mungkin menggumpal dan membeku dalam kesadaran masyarakat itu pada akhirnya justru melahirkan sikap-sikap diskriminatif.  Selaras dengan apa yang diungkapkan Freedman, di masyarakat muncul sikap homofobia, suatu kekhawatiran berlebihan terhadap kaum gay.

 

Konstruksi sosial

Sejauh ini, menurut Argyo, kesadaran masyarakat masih terhegemoni oleh pandangan dikotomis normal-abnormal terhadap fenomena atau kelompok barisan kaum sehati (sebutan untuk kaum homo). Pelacakan historis terhadap berbagai kebudayaan dunia menunjukkan bahwa label abnormal yang dilekatkan pada fenomena homoseks adalah hasil dari suatu konstruksi sosial.

Adalah Michel Foucault, filsuf besar Perancis yang juga aktivis pembela hak-hak minoritas gay yang menggolongkan wacana seksualitas sebagai suatu bentuk penaklukan internal-subyektif bagi tubuh yang pada gilirannya membentuk identitas diri kelas menengah masyarakat Eropa.

Dalam buku The History of Sexuality (terjemahan oleh penerbit Gramedia dengan judul Seks & Kekuasaan, Sejarah Seksualitas) Foucault mengungkap bahwa dahulu, dalam periode Yunani Kuno, wacana seks sama sekali tidak dihubungkan dengan sesuatu di luar tubuh, hal ini, menurut Argyo, kurang lebih mirip dengan apa yang tersirat dalam Serat Centhini.

Baru pada abad pertengahan otoritas gereja masuk dalam wacana seks, dengan memandang hasrat seksual sebagai sesuatu yang jahat, sehingga harus ditundukkan.
Dalam kaitan ini, dalam bukunya, Dede mempertanyakan, tidakkah agama yang lahir demi kesejahteraan semua umat manusia mau mendengarkan temuan-temuan ilmu pengetahuan yang memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang wajar?

Lebih lanjut Dede menguraikan bahwa secara antropologis homoseksualitas merupakan bagian dari keanekaragaman sifat yang ada pada umat manusia. Homoseks adalah sesuatu yang alami, karena seperti menurut Alfred C. Kinsey, seorang seksolog Amerika terkenal, “tindakan seks yang tidak alami hanyalah tindakan seks yang tidak bisa dilakukan oleh manusia”.

Jika masyarakat memahami fakta-fakta ini, akan mudah memahami mengapa Anto (bukan nama sebenarnya), seorang gay di Kota Solo yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) khusus bagi kaum MSM, mampu menjalani hidupnya yang sudah 30 tahun dengan enjoy. Anto merasa dirinya tetap sebagai manusia normal, kendati orientasi seksualnya berbeda dengan mayoritas laki-laki  di sekitar dia dilahirkan dan kini tinggal. €

 

Isu HIV/AIDS sebagai fondasi gerakan

Isu HIV/AIDS mulai menjadi wacana utama dalam komunitas gay di Kota Solo pada tahun 2003. Peletak dasarnya adalah Yayasan Gessang yang dimotori Slamet Rahardjo, seorang gay yang pernah berada di bawah bimbingan Dede Oetomo, tokoh organisasi Gaya Nusantara.

Dan secara resmi, isu HIV/AIDS menjadi landasan gerakan pengorganisasian gay di Kota Solo mulai akhir 2005. Pendukungnya adalah lembaga donor Global Fund (GF) yang memfasilitasi pendirian dua klinik voluntary counseling and testing atau VCT di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Moewardi dan RS Dr Oen.

Masuknya GF juga memunculkan perubahan pada sikap otoritas kesehatan di Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Atas dukungan GF, Dinas Kesehatan Kota Solo memberi ruang cukup leluasa bagi komunitas gay di Kota Solo untuk aktif dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS.

Pengorganisasian berbasis isu HIV/AIDS ini menurut Bram, 33, (bukan nama sebenarnya) seorang gay yang delapan tahun terakhir berprofesi sepakat laki-laki pekerja seks (LPS) khusus bagi gay, memang memunculkan perubahan cukup signifikan dalam cara berpikir sebagian gay di Kota Solo.

Di kalangan gay di Kota Solo, jelas Bram, setiap kali digelar pertemuan biasanya selalu diwarnai pembicaraan atau obrolan tetang seks. Dan ujungnya biasanya adalah kesepakatan dua orang gay untuk berhubungan seks, kendati tidak dilandasi oleh hubungan khusus diantara keduanya, alias sama butuh dana suka sama suka.

Keberadaan sejumlah lokasi mangkal khusus gay di Kota Solo sebenarnya juga tak lepas dari kebutuhan akan pemenuhan orientasi seksual kalangan gay ini. Setiap kali para gay ngumpul di lokasi mangkal, biasanya selalu diwarnai barter informasi tentang sosok gay lain yang layak diajak berkencan. Tentu saja pembicaraan seperti ini bagi para gay yang belum memiliki pasangan tetap atau pacar.

Dan menurut Slamet, di Kota Solo sangat sedikit gay yang memiliki pasangan tetap. Rata-rata kebiasaan gay di Solo adalah mencari pasangan ketika muncul hasrat untuk memenuhi kebutuhan orientasi seksualnya. Sosialisasi di komunitas mangkal adalah salah satu cara yang paling sering dilakukan para gay di Kota Solo untuk memenuhi kebutuhan orientasi seksualnya ini.

Kemajuan teknologi informasi juga memunculkan wahana mangkal baru bagi sebagian gay di Kota Solo. Wahana mangkal baru itu adalah melalui chatting di internet. Kebiasaan chatting ini dilakukan oleh gay dari kalangan mahasiswa, pelajar, dosen dan kalangan gay lainnya yang berpendidikan relatif tinggi.

Slamet mengaku cukup kenal secara baik dengan puluhan gay di Kota Solo yang biasa mangkal di kanal chatting mIRC ini. Wahana sosialisasi melalui lokasi ngumpul atau nongkrong dan wahana sosialisasi maya melalui internet memunculkan budaya pemenuhan orientasi seksual yang cenderung bebas.

 

Manifestasi orientasi seksual

Dalam konteks sosial, menurut Argyo, pemenuhan orientasi seksual yang cenderung bebas ini merupakan salah satu bentuk perlawanan komunitas gay di Kota Solo atas stereotip, stigma dan marginalisasi yang mereka terima dari masyarakat. Kebebasan memilih pasangan seks dan bebas berhubungan seks dengan siapapun, bagi komunitas gay di Solo adalah salah satu bentuk pernyataan atas eksistensi mereka.

Dan pemenuhan orientasi seksual secara bebas ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan gay yang memiliki komunitas nongkrong semata. Gay yang hidup di lingkungan yang berpemahaman mutlak bahwa homoseks adalah penyimpangan dan melanggar norma-norma agama juga menempuh mekanisme berseks bebas ini untuk memenuhi hasrat orientasi seksualnya.

Argyo mengaku memiliki kawan dekat seoarang gay yang berprofesi sebagai LPS. Sebagai LPS, gay ini memiliki pelanggan seorang gay yang berstatus santri di pondok pesantren yang berlokasi di perbatasan Kota Solo. Menurut Argyo, ini membuktikan bahwa orientasi seksual gay yang tidak diakui masyarakat membutuhkan penyaluran. Dan pilihan penyalurannya salah satunya adalah berhubungan seks secara bebas.

Pilihan untuk menggunakan jasa LPS dalam memenuhui orientasi seksual tidak akan dilakukan jika gay bersangkutan memiliki ruang yang cukup untuk hidup dalam jati dirinya. Namun hal itu mustahil diperoleh di lingkungan pondok pesantren yang notabene berpemahaman bahwa orientasi seksual adalah sesuatu yang given dan bentuknya baku, yakni heteroseksual.

“Ya bagaimana gay mau memiliki pasangan tetap jika lingkungannya tidak mendukung untuk itu. Bisa dibayangkan bagaimana jika seorang santri yang kebetulan seorang gay kemudian  berterus terang dan kemudian memiliki pasangan tetap yang hidup satu lingkungan. Wah, bisa muncul kehebohan besar. Karena itu pemenuhan orientasi seksual gay memang harus melalui jalan lain, bisa komersial dengan menggunakan jasa LPS atau suka sama suka dengan sesama gay tanpa ikatan hubungan dalam waktu lama,” jelas Slamet.

Dan menurut Argyo, secara sosial maupun legal formal tidak mungkin untuk mengangkat isu perlunya gay memiliki pasangan tetap secara formal. Hukum positif di Indonesia dan akar budaya masyarakatnya tidak mengakui keberadaan kaum homoseksual, kaum gay atau MSM untuk hidup secara legal atas orientasi seksual mereka. Apalagi, imbuh Argyo, sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim, jelas tidak mungkin memberikan tempat formal untuk gay.

***

Kultur kehidupan gay yang liberal dalam pemenuhan orientasi seksual ini didukung oleh fasilitas-fasilitas yang terdapat di Kota Solo. Sebagai kota dengan luas wilayah kurang lebih 44 km2 dengan jumlah penduduk berdasar survei Biro Pusat Statistik (BPS) Kota Solo, tahun 2005, sebanyak 559.649 jiwa, Kota Solo jelas termasuk kota besar.

Kendati hanya tergolong kota besar (jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa tergolong kota besar) namun gaya kehidupan sosial masyarakat yang berkembang di Kota Solo adalah gaya hidup metropolitan. Jumlah penduduk 559.649 jiwa adalah jumlah warga yang berkartu tanda penduduk atau KTP Kota Solo. Namun sejatinya jumlah manusia yang beraktivitas di Kota Solo, khususnya, pada siang hari menurut pantauan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Solo, mencapai 2,5 juta jiwa, bahkan lebih.

Dari sisi luas wilayah dan jumlah penduduk tergolong kota besar, namun dengan kultur kehidupan yang bersifat metropolis jelas berkorelasi linier dengan berbagai bentuk manifestasi ekspresi dan gaya hidup komunitas-komunitas masyarakatnya. Komunitas gay yang notabene menjadi komunitas masyarakat yang dianaktirikan dalam pergaulan masyarakat Kota Solo, menemukan banyak wahana pembebasan atas marginalisasi yang mereka terima, khususnya terkait dengan orientasi seksualnya.

Kemunculan banyak mal, pusat perbelanjaan yang diiringi dengan bermunculannya pusat-pusat hiburan hanyalah sebagian dari perkembangan metropolis Kota Solo yang kemudian memunculkan wahan-wahana ekspresi kalangan gay. Solo Grand Mal adalah salah satu contoh pusat perbelanjaan yang kemudian menjadi ajang sosialisasi gay, termasuk gay pekerja seks yang memanfaatkan ruang publik di Solo Grand Mal sebagai ajang sosialisasi.

Dipandang dari sisi kewilayahan, perkembangan pesat metropolis di Kota Solo terpusat di kawasan Solo bagian selatan yang meliputi Kecamatan Pasar Kliwon, Serengan dan Laweyan. Jumlah penduduk Kecamatan Pasar Kliwon  berdasar survei BPS Kota Solo tahun 2005 sebanyak 86.799 jiwa, Kecamatan Laweyan berpenduduk 109.098 jiwa, Kecamatan Serengan berpenduduk 62.530 jiwa.

Dua kecamatan lainnya berlokasi di kawasan Solo utara. Kecamatan Banjarsari berpenduduk 162.901 jiwa dan Kecamatan Jebres berpenduduk 138.321 jiwa. Pertumbuhan dan perkembangan fasilitas-fasilitas penunjung gaya hidup metropolitan tersentral di kawasan Kecamatan Pasar Kliwon, Laweyan dan Serengan. Akibatnya pergerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik juga tersentral di wilayah Solo bagian selatan.

Komunitas-komunitas gay Kota Solo juga tersentral di kawasan Solo bagian selatan. Pemusatan di Solo bagian selatan ini terutama dalam bentuk lokasi nongkrong dan berbagai bentuk kegiatan yang mereka lakukan. Kendati secara faktual, berdasar obrolan bersama mereka di sejumlah lokasi nongkrong, gay di Kota Solo berasal dari hampir semua kawasan di Kota Solo.

Kemajemukan gay di Kota Solo ditambah dengan bergabungnya para gay dari kawasan hinterland seperti Kabupaten Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, Boyolali dan Wonogiri. Berdasar interaksi bersama komunitas gay di sejumlah lokasi mereka biasa nongkrong, ratusan gay dari kawasan hinterland Kota Solo ini sudah sejak bertahun-tahun lalu berdatangan ke Kota Solo untuk bekerja atau sekadar bersosialisasi secara rutin.

Budaya hidup bebas, khususnya dalam pemenuhan orientasi seksual, ditunjang pesatnya perkembangan budaya metropolis di Kota Solo memunculkan risiko cukup tinggi bagi komunitas gay di kota ini terkait penyebaran HIV/AIDS. Bram yang sejak empat bulan lalu bergabung sebagai tenaga penjangkau dalam program penanggulangan HIV/AIDS GF dengan Pemkot Solo, menuturkan, sebelum Yayasan Gessang beraktivitas di Solo kecenderungan seks bebas di kalangan gay memang terjadi tanpa mempertimbangkan risiko.

“Jangankan HIV/AIDS, infeksi penyakit menular seksual (IMS) saja tak dipedulikan. Kalau sudah berpikir soal seks ya sudah seks saja. Kalau tak punya pasangan tetap atau sulit cari pasangan yang suka sama suka ya sama LPS seperti saya ini. Tetapi sejak Yayasan Gessang masuk ke Solo ditambah program dari GF-Pemkot Solo dengan fasilitas VCT, orientasi seksual sebagian besar gay di Solo mulai beralih ke seks aman. Jadi risiko terinfeksi HIV/AIDS sudah mulai menjadi pertimbangan,” tutur Bram.

Sebagai LPS yang sudah memeriksakan diri ke klinik VCT dan mendapatkan hasil HIV+, Bram beruntung karena tidak terpuruk pada keputusasaan. Dengan statusnya sebagai orang yang hidup dengan HIV/AIDS atau ODHA, Bram memilih membaktikan sebagian waktu dalam kesehariannya untuk menjangkau komunitas gay di Kota Solo. Dan kendati masih tetap aktif menjalani profesinya sebagai LPS, Bram memilih “memaksa” kliennya menggunakan kondom dalam berhubungan seks.

Dan hingga saat ini, Bram tetap menutup diri atas status gay dan ODHA-nya terhadap keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Yang tahu statusnya sebagai gay hanyalah para klien dan komunitas gay dimana dia secara rutin berinteraksi. Sedangkan mengenai status ODHA-nya, yang tahu hanya dirinya dan konselor yang mendampinginya.

Menurut Slamet, gay yang seperti Bram termasuk langka. Artinya ketika statusnya HIV+, dia tidak terpuruk dalam keputusasaan dan justru bersemangat menjalankan perannya sebagai peer educator soal HIV/AIDS bagi kalangan gay di Kota Solo. Ihwal masih tetap dijalaninya profesi sebagai LPS, menurut Slamet, itu adalah pilihan hidup. Advokasi soal HIV/AIDS yang dijalankan Yayasan Gessang bersama proyek kerjasama GF-Pemkot Solo, menurut Slamet, tidak berorientasi mengubah pilihan hidup seseorang.

Advokasi HIV/AIDS yang dijalankan semata bertujuan memasyarakatkan pengertian yang benar tentang HIV/AIDS dan mengajak seluruh komponen masayarakat, terutama komunitas berisiko tinggi untuk bersama-sama mencegah penularan HIV/AIDS. Bagi kalangan gay dan LPS gay, pilihan untuk berperan dalam hal ini adalah berhubungan seks secara aman, menggunakan kondom.

 

Penularan HIV/AIDS melalui seks bebas

Modus penularan HIV/AIDS sebagaimana yang menginfeksi Bram, sejatinya banyak dilakukan kalangan gay di Kota Solo. Sebelum berprofesi sebagai LPS, Bram mengaku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dan dalam masa ini, Bram mengaku sudah berpengalaman berganti-ganti pasangan seks. Setelah di-PHK, beralih profesi menjadi LPS di Kota Solo. Frekuensi berganti pasangan seks semakin sering. Bram berkeyakinan infeksi HIV/AIDS terhadap dirinya berasal dari hubungan seks ini, tetapi tidak yakin ketika berhubungan seks dengan siapa penularan itu terjadi.

Ketika Yayasan Gessang kali pertama masuk ke Kota Solo, sudah diketemukan sedikitnya tiga orang gay yang meninggal dengan dugaan kuat akibat terinfeksi HIV/AIDS. Sayangnya ketiga gay yang meninggal ini tidak sempat memeriksakan diri dalam tes khusus untuk mengetahui infeksi HIV/AIDS. Menurut Slamet, melihat gejala penyakit yang diderita hingga saat meninggalnya, diduka kuat ketiga gay ini memang terinfeksi HIV/AIDS. Dipastikan modus penularannya juga melalui hubungan seksual.

Kasus yang menimpa Cut Tari adalah bukti nyata atas risiko terinfeksi HIV/AIDS akibat berhubungan seks secara bebas tanpa memperhatikan aspek keamanan. Cut Tari di kalangan gay di Kota Solo dikenal sebagai bom seks era akhir 90-an dan awal 2000-a di sebuah diskotek di Kota Solo (kini diskotek dimaksud sudah gulung tikar). Sebagai bom seks gay feminim, Cut Tari terbiasa berganti pasangan seks. Ketika tubuhnya melemah dengan deraan berbagai penyakit, dengan pemeriksaan intensif diketahui positif sebagai ODHA dengan sindrom sudah taraf stadium empat.

Program advokasi HIV/AIDS GF-Pemkot Solo dengan pekerja lapangan para gay dan juga MSM lainny yang dikoordinasi Yayasan Gessang kini sudah relatif mampu mensosialisasikan risiko penularan HIV/AIDS di kalangan gay  di Kota Solo. Kendati penolakan atas solusi berhubungan seks secara aman, menggunakan kondom, masih muncul dari sebagian besar gay di Kota Solo namun gerakan yang diusung GF-Pemkot Solo dan Yayasan Gessang telah mampu membentuk bahasa baru bagi pengorganisasian gay, yakni bahas perang melawan HIV/AIDS.

Program penanggulangan HIV/AIDS GF-Pemkot Solo saat ini didukung oleh 10 orang tenaga peer educator yang seluruhnya berstatus gay, enam orang konselor dan dua orang case manager. Mereka betugas menjangkau komunitas gay. Jumlah gay di Kota Solo yang saat ini berhasil didata oleh Yayasan Gessang mencapai 741 orang. Jumlah sesungguhanya diyakini jauh lebih banyak lagi. Jumlah 741 orang ini hanya berdasar atas jumlah gay yang secara rutin hadir dalam acara nongkrong di sejumlah lokasi khusus nongkrong kalangan MSM di Kota Solo.

Terkait dengan hal itu, berdasar pendataan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Solo atau DKK, jumlah pengidap HIV di Solo selama 2006 hingga bulan Juni tercatat sebanyak 18 orang. Jumlah pengidap HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Pada tahun 2004 tercatat sebanyak sembilan kasus namun pada 2005 meningkat menjadi 14 kasus. Terhitung sejak kali pertama ditemukan yakni tahun 1999, jumlah kasus HIV/AIDS di Solo tercatat sebanyak 50 penderita.  Menurut Kepala DKK, dr Purnomo Dwi Putro MKes, para risiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS di Kota Solo jumlahnya sangat tinggi, mencapai lebih dari 19.000 orang dan tersebar di beberapa kawasan.

Mereka terdiri atas laki-laki pekerja seks (LPS) baik di jalanan maupun panggilan sebanyak 85 orang dengan daerah mangkal di antaranya Joglo Sriwedari, Stadion Sriwedari, Terminal Tirtonadi, depan rumah tahanan dan tempat-tempat wedangan.

Untuk gay nonkomersial di Solo tercatat sebanyak 700-an orang, dengan tempat mangkal seperti pusat perbelanjaan, tempat-tempat arisan, internet dan kampus. Untuk Waria komersial tercatat sebanyak 127 orang dan Waria nonkomersial sebanyak 142 orang.

Data ini, menurut Purnomo, bukanlah data final. Pasalnya, sebagai komunitas yang selama ini terpinggirkan dan tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat yang lebih mayoritas, dipastikan jumlah detailnya sulit untuk diketahui. Data 700-an orang adalah data yang diperoleh dari hasil penjangkaun dan perkiraan berdasar jumlah yang biasa mangkal di beberapa lokasi mangkal di Kota Solo.

“Untuk tempat-tempat khusus seperti salon, panti pijat dan sebagainya itu belum terhitung, sehingga jumlah di lapangan jauh lebih besar karena hal semacam ini adalah fenomena gunung es,” jelas Purnomo.

Dari sisi potensi gerakan, menurut Slamet, komunitas gay sebenarnya lebih mudah diberi pengertian tentang HIV/AIDS. Pasalnya mayoritas gay di Kota Solo berpendidikan relatif tinggi, SMA dan sederajat ke atas. Yang menjadi persoalan lebih pada upaya mengubah perilaku seks dari seks bebas dalam arti bebas memilih pasangan dan bebas berhubungan seks, menjadi seks yang aman.

Seks yang aman dalam konteks advokasi HIV/AIDS di komunitas gay, menurut Bram tidak harus dimanifestasikan dalam perubahan perilaku agar gay hanya berhubungan seks dengan satu pasangan tetap. Jika konsep ini yang dipaksakan, mustahil terwujud. Pasalnya budaya di internal gay di Kota Solo memang menyukai berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan.

Pilihannya adalah kampanye berhubungan seks secara aman, dengan menggunakan kondom. Secara umum gay yang berhasil dijangkau rata-rata sudah berhasil ditanamkan pemahaman tentang berhubungan seks secara aman ini. Para tenaga penjangkau juga sering membagikan kondom gratis kepada berbagai kelompok komunitas gay di Kota Solo.

Yang paling sulit untuk diberi pemahaman tentang berhubungan seks secara aman adalah kelompok gay yang berprofesi sebagai LPS yang berada di penampungan. Di Kota Solo ada dua hotel kelas melati yang menjadi tempat penampungan LPS gay. Dan LPS yang berada di penampungan ini bukanlah gay warga Kota Solo. Mereka adalah LPS gay yang didatangkan dari luar Kota Solo dan berada di Kota Solo hanya dua pekan atau paling lama satu bulan.

Mereka adalah bagian dari jaringan pemasok LPS gay yang beroperasi di Kota Surabaya, Semarang, Solo dan Yogyakarta. Mobilitas mereka yang cukup tinggi menyulitkan para tenaga penjangkau yang dikoordinasi Yayayan Gessang untuk memberikan informasi tentang HIV/AIDS dengan target akhir mereka secara suka rela memeriksakan diri ke klinik VCT.

Menurut Bram, yang memang bertugas sebagai tenaga penjangkau untuk kelompok LPS gay, LPS yang berada di lokasi penampungan biasanya murni berorientasi uang melalui pelayanan jasa yang mereka berikan. Kebanyakan dari mereka memilih lebih baik mati daripada harus mengetahui status kesehatan dirinya dengan memeriksakan diri ke klinik VCT. Dan yang menjadi perhatian utama para tenaga penjangkau gay di Kota Solo adalah kenyataan bahwa pengguna jasa LPS gay di penampungan ini kebanyakan juga gay di Kota Solo juga.

“Kepada mereka, sejauh ini yang saya lakukan ya membagikan brosur tentang HIV/AIDS dan pentingnya memeriksakan diri ke klinik VCT. Selain itu juga mengkampanyekan seks yang aman dengan menggunakan kondom. Cara ini kami tempuh karena gay baik komersial maupun nonkomersial itu rata-rata berpendidikan tinggi. Jadi mereka sebenarnya berpotensi untuk paham dan kemudian secara sadar memeriksakan diri ke klinik VCT tanpa harus ditemui secara langsung,” tutur Bram.

Dan gejala mutakhir yang cukup mencemaskan, imbuh Slamet, adalah budaya sebagian kelompok gay di Kota Solo yang mencari pasangan seks melalui media chatting. Menurut Slamet mekanisme ini rentan sekali terhadap penularan HIV/AIDS dibanding mencari pasangan seks menggunakan jasa LPS. Pasalnya dengan media chatting kecil sekali antar-gay saling mengetahui kebiasaan dan jati diri masing-masing. Mencari pasangan seks melalui chatting menurut Slamet ibarat membeli kucing dalam karung. €

 

Strategi penanggulangan HIV/AIDS

Pemkot Solo sebenarnya sudah punya acuan merumuskan strategi penanggulangan HIV/AIDS yang tentunya harus diselaraskan dengan kondisi faktual di Kota Solo. Kondisi faktual di sini diantaranya seperti realitas kelompok risiko tinggi, seperti komunitas gay, dan relasi kelompok-kelompok risiko tinggi dengan elemen masyarakat lainnya. Sudah cukup optimalkah kebijakan dan langkah teknis Pemkot Solo dalam menanggulangi HIV/AIDS jika dikaitkan dengan realitas salah satu kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV, seperti komunitas gay? Terlebih dari data yang dicatat Dinas Keehatan Kota Solo, infeksi HIV/AIDS menunjukkan tren meningkat setiap tahun..

Pada bulan Mei 1994 pemerintah menetapkan kebijakan nasional pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 36 Tahun 1994 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), baik KPA Nasional maupun KPA Daerah.

Strategi ini kemudian dijabarkan dalam Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (SK Menkokesra) No 9 Tahun 1994 yang diterbitkan bulan Juni 1994. Fokus utama strategi penanggulangan HIV/AIDS berdasar dua regulasi ini diarahkan pada upaya untuk meningkatkan ketahanan keluarga sesuai dengan norma-norma sosial budaya masyarakat.

Strategi ini harus dilaksanakan secara multi sektoral mulai dari pusat hingga kabupaten/kota. Secara umum strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS yang harus dijalankan hingga tingkat kabupaten/kota berupa penanggulangan HIV/AIDS yang meliputi pencegahan, penyuluhan, pelayanan, pemantauan dan pengendalian bahaya HIV/AIDS.

Secara multisektoral juga harus dilaksanakan pengamatan epidemiologis pada kelompok penduduk yang berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan berpotensi menjadi wahana persebarannya.

Penyuluhan mengenai bahaya dan cara pencegahan penyebaran HIV/AIDS perlu disampaikan kepada masyarakat umum. Artinya harus ada program penyuluhan tentang HIV/AIDS yang sasarannya adalah masyarakat umum.

Kemudian harus dilakukan penyebaran informasi mengenai HIV/AIDS melalui berbagai media massa dalam kaitan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.Dan dalam gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS harus dijalin kerjasama regional dan internasional.

Eksistensi lembaga KPA Daerah atau KPAD yang secara legal mempunyai posisi dan kewenangan strategis dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ternyata belum mampu berperan nyata dalam strategi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Solo.

Parameter keberhasilan sebuah gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, menurut Ketua Komisi IV (membidangi pendidikan, kesehatan, pariwisata, ketenagkerjaan, sosial dan kesejahteraan rakyat) DPRD Kota Solo, Zaenal Arifin, mestinya ditetapkan guna mengukur keberhasilan gerakan yang dijalankan.

Di Kota Solo, menurut Zainal, sangat sulit mengukur keberhasilan peran KPAD dalam gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Apalagi secara formal KPAD Kota Solo memang sejauh ini belum pernah mengungkapkan strategi apa yang akan dijalankan secara berkelanjutan untuk mencegah dan menanggulangi potensi penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo.

Sejauh ini gerakan nyata penanggulangan HIV/AIDS di Kota Solo yang dijalankan KPAD melalui institusi Dinas Kesehatan Kota Solo hanya sebatas gerakan-gerakan seremoial semata. Diantaranya seperti fasilitasi peringatan hari AIDS sedunia yang digelar setiap tahun.

Grakan penyuluhan yang menjadi salah satu strategi utama dan mendasar sesuai Keppres No 36 Tahun 1994 juga tidak terlihat. Kalaupun digelar penyuluhan tentang HIV/AIDS sifatnya sangat parsial, cakupannya sempit dan bukan merupakan program yang berkelanjutan.

Dan bukti bahwa KPAD Kota Solo memang belum cukup optimal dalam menjalankan strategi nasional pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah kenyataan tidak pernah ada alokasi anggaran khusus dalam APBD Kota Solo yang dimaksudkan untuk mendukung sebuah gerakan terencana, terprogram dan berkelanjutan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Hal ini sedikit banyak diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Purnomo Dwi Putro. Menurutnya, Dinas Kesehatan sebagai salah satu operator kebijakan KPAD sebenarnya terus berusaha mengoptimalkan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Namun upaya dimaksud seringkali terbentur pada persoalan prioritas kebijakan yang dijalankan Pemkot Solo. Dan persoalan prioritas kebijakan ini akan selalu berujung pada persoalan besar kecilnya alokasi anggaran atas satu program kerja yang diajukan dalam proses pembahasan dan penyusunan APBD.

Dalam APBD Kota Solo 2006 memang sama sekali tidak ada alokasi anggaran khusus untuk penanggulangan HIV/AIDS. Dari alokasi anggaran APBD yang nilainya Rp 500 miliar lebih, alokasi anggaran untuk kepentingan penanggulangan HIV/AIDS yang ditempelkan pada alokasi anggaran penanggulangan penyakit menular yang nilainya kurang lebih hanya Rp 60 juta.

Kendati demikian, pada tahun 2007, DKK Solo, menurut Purnomo, akan memperjuangkan alokasi anggaran khusus dalam APBD Kota Solo yang dikhususkan untuk pendanaan program dan gerakan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Solo. Dan menurut Purnomo, sejauh ini program dan gerakan penanggulangan HIV/AIDS memang belum dinilai sebagai program yang “seksi” di internal Pemkot Solo.

Sejauh ini program yang dinilai seksi dalam proses-proses penganggaran, menurut aktivis Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Kota Solo, Alif Basuki, adalah program yang berpotensi meningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Selain itu juga program-program yang bersifat fisik sehingga hasilnya bisa langsung dilihat dalam waktu singkat. Akibatnya, program-program seperti penanggulangan HIV/AIDS yang sebenarnya sangat penting, namun tidak ada korelasinya dengan target peningkatan PAD dan hasilnya tak bisa segera dilihat, kemudian menjadi tersingkirkan.

Akibatnya, kepentingan alokasi anggarannya ketika dibahas di tim anggaran eksekutif maupun tim anggaran legislatif selalu tidak mendapatkan perhatian, bahkan terkesan dipikirkanpun tidak.

Menurut Purnomo, Kota Solo memang sudah saatnya menerapkan kebijakan yang jelas, terencana, terprogram dan berkelanjutan dengan melibatkan banyak stakeholders dalam kaitan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Apalagi KPA Provinsi Jateng menetapkan Kota Solo dalam enam besar dari 35 kabupaten/kota di Jateng yang berisiko tinggi menjadi titik persebaran HIV/AIDS.

Sedangkan menurut Aksi Stop Aids yang berada di bawah koordinasi Departemen Kesehatan, Kota Solo masuk dalam tiga besar dari 35 kabupaten/kota di Jateng yang paling berisiko tinggi mengalami lonjakan jumlah penderita HIV/AIDS. Ketiga kabupaten/kota ini adalah Kota Semarang, Kabupaten Banyumas dan Kota Solo.

Masuknya Global Fund (GF) ke Kota Solo sejak Oktober 2005 dengan pembukaan fasilitas VCT membawa perubahan mendasar dalam gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Keyakinan bahwa fenomena HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es diyakini terbukti melalui operasional dua klinik VCT di RSUD Dr Moewardi dan RS Dr Oen.

Districk Project Officer GF Component AIDS Solo, Anwar Fauzi, menjelaskan wahana klinik VCT lebih dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti berapa orang dalam kelompok berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS yang positif terinfeksi HIV dan berapa yang tidak.

“Dulu sebelum GF masuk ke Solo banyak pihak, termasuk otoritas di Pemkot Solo yang tidak yakin akan fenomena gunung es penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo. Namun ketika GF membiayai operasional klinik VCT yang satu paket dengan klinik VCT yang dibuka di Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas, barulah banyak pihak di Solo yang bisa terbuka mata dan pikirannya atas fenomena gunung es itu,” tutur Anwar.

GF sendiri jelas tidak akan selamanya memfasilitasi operasional klinik VCT di RSUD Dr Moewardi dan RS Dr Oen. Sewaktu-waktu, kerjasama antara GF dengan Pemkot Solo bisa dihentikan. Dan ketika GF sudah mundur dari Kota Solo, operasional klinik VCT di RSUD Dr Moewardi dan RS Dr Oen harus tetap dilanjutkan. Untuk itu, mestinya Pemkot Solo saat ini sudah harus memikirkan bagaiman kelanjutan operasional kedua klinik VCT itu, khususnya yang berlokasi di RS Dr Oen, karena untuk di RSUD Dr Moewardi ada peluang akan dilanjutkan oleh Pemprov Jateng sebagai pemilik RSUD Dr Moewardi.

“Setelah GF mundur dari Solo, pilihannya ada dua untuk keberlangsungan klinik VCT. Pertama, Pemkot Solo mengalokasikan anggaran khusus dari APBD untuk menggantikan peran GF yang sejak Oktober 2005 lalu menanggung biaya operasionalnya. Kedua, klinik VCT memungut biaya dari klien yang datang untuk berkonsultasi dan kemudian memeriksakan diri. Namun pemungutan biaya ini hanya mungkin diberlakukan pada klien berkemampuan ekonomi menengah ke atas. Sementara mereka yang berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS tidak hanya kalangan ekonomi menengah atas,” jelas Anwar.

Landasan bekerjanya fasilitas VCT adalah kesukarelaan dari komponen kelompok berisiko tinggi untuk memeriksakan diri. Menurut Anwar, dengan kesukarelaan memeriksakan diri ini, tesis bahwa di belakang satu orang yang positif terinfeksi HIV ada 100 orang lainnya merupakan tesis dasar terkait fenomena gunung es dimaksud.

Sejak dibuka secara resmi pada bulan Oktober 2005, tren jumlah pengunjung ke VCT terus mengalami peningkatan. Pada bulan Oktober 2005 pengunjung VCT sebanyak dua orang, di RSUD Dr Moewardi (RSDM) sebanyak dua orang dan pengunjung VCT RS Dr Oen (RS Oen) belum ada yang datang.

Bulan November 2006 pengunjung berjumlah enam orang, lima orang di RSDM dan satu orang di RS Oen. Pada Desember 2006 jumlah pengunjung klinik VCT sebanyak 23 orang, tujuh orang di RSDM dan 16 orang di RS Oen. Pada bulan Januari 2006 pengunjung bertambah menjadi 28 orang, sebanyak 24 orang di RSDM dan empat orang di RS Oen.

Pada Februari 2006 jumlah pengunjung klinik VCT sebanyak 63 orang, 60 orang di RSDM dan tiga orang di RS Oen. Bulan Maret jumlah pengunjung menurun, di RSDM sebanyak 33 orang dan di RS Oen sebanyak 16 orang, total hanya sebanyak 49 orang.

Bulan April mengalami peningkatan lagi dengan jumlah pengunjung klinik VCT sebanyak 62 orang, sebanyak 32 orang di RSDM dan 30 orang di RS Oen. Pada Mei 2006 jumlah pengunjung klinik VCT mencapai 130 orang, sebanyak 103 orang di RSDM dan 27 orang di RS Oen. Pada Juni 2006 terjadi peningkatan pesat dengan jumlah pengunjung sebanyak 266 orang, sebanyak 103 orang di RSDM dan 163 orang di RS Oen.

Berdasar jumlah pengunjung klinik VCT di RSDM dan RS Oen sejak Oktober 2005 hingga Juni 2006 diperoleh data klien positif HIV sebagai berikut. Pada Oktober 2005 klien positif HIV sebanyak dua orang, bulan November 2005 sebanyak 2 orang, bulan Januari 2006 sebanyak satu orang, bulan Februari 2006 sebanyak dua orang, bulan Maret 2006 sebanyak lima orang, bulan April 2006 sebanyak lima orang, bulan Mei 2006 sebanyak lima orang dan bulan Juni 2006 sebanyak empat orang.

Setelah melihat hasil pemeriksaan klien yang positif HIV selanjutnya pada Oktober 2005 ada satu klien dirujuk ke pengobatan anti retroviral (ART), November 2005 ada satu pasien yang dirujuk, bulan Desember 2005 tidak ada yang dirujuk, Januari 2006 sebanyak dua pasien, Februari 2006 sebanyak dua pasien, Maret 2006 sebanyak tiga pasien, April 2006 sebanyak satu pasien, pada Mei 2006 tidak ada yang dirujuk dan pada Juni 2006 ada satu pasien yang dirujuk ke perawatan ART.

Rentang usia klien yang datang ke klinik VCT di RSDM dan RS Oen mayoritas ada pada 25-34 tahun. Data lengkapnya, usia < 15 tahun sebanyak tujuh orang, usia 15-24 tahun sebanyak 143 orang, usia 25-34 tahun sebanyak 267 orang, usia 35-44 tahun sebanyak 150 orang dan usia > 45 tahun sebanyak 62 orang.

Distribusi klien pengunjung klinik VCT bulan Oktober 2005 hingga Juni 2006 berdasar pekerjaan/profesi menunjukkan 50 orang adalah pelajar, 28 orang ibu rumah tangga, 215 orang karayawan, 112 orang wiraswasta, 183 orang pekerja seks dan 41 orang berlatar belakang profesi lainnya.

Sedangkan berdasar faktor risiko, distribusi pengunjung klinik VCT menunjukkan sebanyak 128 orang adalah homoseksual/biseksual, 459 orang heteroseksual, 14 orang IDU’s (injecting drug users), tiga orang pelaku tranfusi darah dan 25 orang berdasar faktor risiko lainnya.

 

 

 

 

 

 

Menurut Slamet Rahardjo selaku konselor sekaligus case manager di klinik VCT RS Oen, tren meningkatnya pengunjung klinik VCT sedikit banyak adalah akibat peran serta sejumlah tenaga penjangkau yang dikoordinasi Yayasan Gessang. Para tenaga penjangkau yang berstatus gay itu tidak hanya menjangkau komunitas gay semata. Mereka juga menjangkau para pekerja seks perempuan, kalangan orang biasa yang mereka kenal namun memiliki faktor risiko tinggi dan sebagian kecil berusaha menjangku kalangan IDU’s.

Sejauh ini, tutur Anwar, data jumlah klien pengunjung VCT yang diketahui positif HIV memang sedikit. Hal ini, lebih disebabkan oleh sikap sebagian besar klien yang setelah mengikuti tahapan tes VCT kemudian tidak bersedia mengambil hasil tesnya. Diperkirakan masih cukup banyak klien pengunjung VCT yang tidak siap mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Selama hasil pemeriksaan tidak diambil oleh klien, siapapun tidak bisa mengetahui bagaimana status pemeriksaannya. Hasil pemeriksaan tidak akan dibuka selama klien tidak datang ke klinik VCT untuk mengambilnya.

“Ada etika tersendiri terkait dengan pemeriksaan atau tes VCT dan hasilnya. Klien yang mengambil hasil tes dan kemudian dinyatakan positif HIV akan langsung ditangani oleh konselor. Dan jati diri klien yang poistif HIV ini akan terus ditutup, yang tahu hanya konselor dan kliennya. Kecuali kalau kliennya yang berinisiatif membuka jati dirinya sebagai ODHA,” jelas Anwar.

Selain banyak yang tidak mengambil hasil tes, tidak sedikit pula yang datang ke klinik VCT dan mengikuti konsultasi tetapi kemudian enggan melanjutkan ke tahapan tes VCT. Klien yang demikian, menurut Anwar, disebabkan karena tidak siap mengetahui status dirinya apakah positif HIV atau negatif. Ketakutan yang terjadi justru pada status positif HIV. Mereka memilih tidak mengikuti tes atau mengambil hasil tes daripada setelah itu harus menanggung beban sebagai ODHA.

Proses sehingga klien secara sukarela datang ke klinik VCT, sebenarnya juga tidak mudah. Seperti pengalaman Bram, cukup banyak gay di Kota Solo yang sesungguhnya punya pemahaman yang baik tentang HIV/AIDS tetapi enggan mendatangi klibik VCT untuk memeriksakan diri.

Para tenaga penjangkau rata-rata harus meyakinkan para gay atau klien lain yang mereka datangi agar bersedia datang ke klinik VCT. Untuk memberi pemahaman dan pengertian tetang HIV/AIDS tidak terlalu sulit. Cukup banyak gay yang sekali didatangi tenaga penjangkau langsung mengerti dan paham apa itu HIV/AIDS dan korelasinya dengan gaya hidupnya. Namun untuk mau datang ke klinik VCT, mengikuti tahapan tes dan mengambil hasil tes, acapkali berada di luar kemampuan para tenaga penjangkau.

Dalam pandangan Anwar, komunitas gay di Kota Solo sebenarnya relatif lebih terbuka dibanding komunitas gay di Kota Semarang dan Yogyakarta. Dengan keterbukaan itu, kampanye tentang pemahaman yang benar soal HIV/AIDS menjadi relatif lebih mudah dilakukan. Namun ketika sudah sampai ke tahapan tes VCT dan mengambil hasil tes memang berpulang pada masing-masing pribadi.

 

***

Bagi komunitas gay di Kota Solo, masuknya GF di Kota Solo memang membawa perubahan mendasar pula atas sikap Pemkot Solo terhadap eksistensi mereka. Menurut Bram, sebelum GF membuka layanan klinik VCT, kalangan gay mendapat perlakukan diskriminatif dalam pelayanan bidang kesehatan, utamanya yang terkait dengan penyakit infeksi menular seksual (IMS).

“Sebelum GF masuk dan lebih jauh lagi sebelum Yayasan Gessang masuk ke Kota Solo, para gay seperti tidak mendapatkan akses ke pelayanan fasilitas kesehatan. Banyak sekali tenaga medis di Kota Solo yang langsung mencibir, sinis dan sikap negatif lainnya jika tahu ada gay yang hendak memeriksakan diri. Sepertinya mereka menganggap gay itu sesuatu yang kotor, jelek dan stigma negatif lainnya,” tutur Bram.

Proyek penanggulangan HIV/AIDS kerjasama GF-Pemkot Solo dengan ujung tombak tes di klinik VCT, menurut Purnomo, sejatinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari paket pengembangan program deteksi dini HIV/AIDS. Paket deteksi dini ini dapat digunakan untuk mengetahui besarnya masalah HIV/AIDS di suatu wilayah. Pada komunitas masyarakat tertentu, seperti gay, tes HIV/AIDS dapat digunakan sebagai alat memonitor kecenderungan perubahan epidemi HIV/AIDS.

Selain itu juga dapat memberikan informasi untuk mengestimasikan atau memproyeksi perkembangan HIV/AIDS di mana mendatang. Dapat juga digunakan untuk kegiatan advokasi para pengambil keputusan agar mereka mau mendukung pengembangan program penanggulangan HIV/AIDS sesuai kewenangannya. Dan yang tak kalah penting, dapat menyediakan data yang dibutuhkan untuk perencanaan kesehatan khususnya untuk pelayanan di bidang kedokteran.

Dalam paket deteksi dini ini ada tiga aspek epidemiologis penting yang perlu diperhatikan. Pertama, infeksi HIV/AIDS terdistribusikan pada satu kelompok masyarakat tertentu. Distribusinya sangat tergantung dari praktik perilaku risiko yang berkembang di kalangan anggota komunitas atau kelompok masyarakat tertentu itu.

Kedua, cara penularan HIV/AIDS juga sangat terbatas sehingga tidak setiap orang mempunyai risiko yang sama untuk tertular HIV/AIDS. Dan ketiga, HIV/AIDS menginfeksi masyarakat di wilayah yang berbeda pada kurun waktu yang berbeda pula. Di Kota Solo komunitas gay sudah memposisikan diri dalam jangkauan deteksi dini ini. Ke depan diperlukan program dari Pemkot Solo untuk menjamin keberlangsungan program setelah GF mundur, dan perlunya menjangkau komunitas berisiko tinggi lainnnya.

“Pemkot jelas akan melanjutkan efektifitas deteksi dini melalui klinik VCT ini. Tetapi saya belum bisa menjelaskan secara detail apa program yang akan diterapkan Pemkot Solo. Yang jelas persoalan ini akan dibahas di KPAD Kota Solo bersama stakeholders terkait,” tutur Purnomo.

Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kota Solo, Bekti Karebet, gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan melibatkan langsung komunitas gay memang membawa dampak negatif sekaligus positif bagi eksistensi komunitas ini.

Dampak negatifnya adalah ada sebagian elemen masyarakat Kota Solo yang mendapat pembenaran atas pandangan negatif dan stigma yang mereka pahami selama ini terhadap komunitas gay. Kenyataan bahwa HIV/AIDS kali pertama ditemukan pada kelompok homoseksual, semakin menebalkan keyakinan elemen masyarakat ini bahwa HIV/AIDS memang menjadi identitas komunitas gay, komunitas homoseksual yang menurut mereka adalah komunitas yang menyimpang dari norma-norma sosial secara umum.

Sedangkan dampak positifnya, komunitas gay mau tidak mau harus membuka diri atas eksistensi mereka. Dengan demikian, saat ini masyarakat Kota Solo harus memahami dan memaklumi bahwa di tengah komunitas masyarakat Kota Solo memang ada komunitas gay yang beorientasi seksual yang berbeda dengan mayoritas masyarakat lainnya.

“Menurut saya, komunitas berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS seperti kalangan homoseksual, gay, memang sudah saatnya membuka diri. Ketika Pemkot Solo mulai terbuka dan menunjukkan keberpihakan pada pentingnya gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, gay harus segera mengakses kebijakan Pemkot Solo. Dan mereka bisa mengaksesnya jika mereka bersifat terbuka, minimal dengan memberikan data berapa anggota komunitas mereka ini,” jelas Bekti.

Sebagai kota metropolitan yang akan dikembangkan sebagai kota wisata dan budaya, lanjut Bekti, jelas akan sangat berkaitan dengan risiko tinggi penyebaran HIV/AIDS. Dalam konteks pariwisata modern, menurut Bekti, tidak bisa dipisahkan dengan pertumbuhan gaya hidup metropolis dan gaya hidup yang terpengaruh budaya luar. Banyaknya fasilitas-fasilitas hiburan modern di Kota Solo adalah salah satu penunjuang bermunculannya gaya hidup yang tidak mengindahkan risiko tinggi penyebaran HIV/AIDS seperti gaya hidup bebas, termasuk bebas dalam berhubungan seks.

Dalam pandangan Ketua Gabungan Organisasi Wanita Surakarta (GOWS), yakni gabungan lebih dari 30 organisasi perempuan di Kota Solo, Titin Fanani, ada paradoks ketika membahas perkembangan Kota Solo yang semakin metropolis dengan isu HIV/AIDS. Sebagai kota metropolis, menurut Titin, masyarakat Kota Solo akrab atau secara umum sudah mengetahui eksistensi budaya hidup bebas, termasuk bebas dalam berhubungan seks.

“Parameter sederhananya adalah masyarakat Kota Solo mafhum sejak zaman dulu kota ini mendapat predikat kota pelesiran. Prediket pelesiran ini sangat erat kaitannya dengan budaya hidup bebas itu. Keberadaan lokasi-lokasi prostitusi ilegal adalah bukti nyata. Tetapi katika ada gerakan yang bermaksud mengurangi potensi penularan HIV/AIDS secara terbuka yang melibatkan komunitas hidup bebas itu, yang muncul adalah penolakan,” jelas Titin.

Contoh nyatanya adalah ketika muncul wacana untuk operasional mesin penyedia kondom dari BKKBN pusat yang langsung mendatangkan penolakan dari berbagai komponen masyarakat Kota Solo. Operasional mesin penyedia kondom dinilai banyak kalangan akan melegalisasi praktik hidup bebas, khususnya berhubungan seks secara bebas. Padahal, sejatinya, tanpa operasional mesin penyedia kondompun, gaya hidup bebas tetap  berkembang di Kota Solo.

“Dalam konteks seperti inilah, perlu gerakan bersama untuk merumuskan program penanggulangan HIV/AIDS yang bisa melahirkan program yang tidak memunculkan paradoks seperti itu. Secara pribadi saya tetap yakin, masyarakat Solo secara mayoritas masih berpegang pada nilai-nilai sosial dan religi ketimuran yang mengharamkan hidup bebas, apalagi seks  bebas,” tutur Titin.

Dalam pandangan Zainal, sudah saatnya masyarakat merubah pemahaman terkait eksistensi komunitas gay. Harus diakui bahwa pemahaman sebagian besar masyarakat Kota Solo adalah menolak eksistensi gay dengan landasan keyakinan nilai-nilai moral, etika agama dan keyakinan sosial budaya. Namun pandangan yang bersifat menolak ini perlu diletakkan dalam ranah empati sehingga memunculkan pengakuan bahwa kendati ditolak, komunitas gay nyatanya memang ada di tengah komunitas masyarakat Kota Solo. Dan dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS mereka tidak layak untuk terus dipinggirkan.

“Dengan demikian, menurut saya, Pemkot Solo perlu mengintensifkan program penyuluhan tentang HIV/AIDS sekaligus pemasyarakatan pemahaman tentang eksistensi kelompok-kelompok masyarakat yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Penyeluhan jangan hanya parsial seperti yang berjalan selama ini. Penyuluhan harus bersifat berkelanjutan dan menyentuh seluruh komponen masyarakat Kota Solo. Untuk itu perlu semacam pelatihan bagi tenaga penyuluh khusus HIV/AIDS yang membawahi satu wilayah kelurahan. Ini penting karena ternyata setelah GF masuk, fenomena gunung es HIV/AIDS memang ada di Kota Solo,” tandas Zainal.

Pernyataan Zainal bahwa program penanggulangan HIV/AIDS di Kota Solo selama ini, khususnya sebelum GF masuk, lebih bersifat karikatif memang banyak buktinya. Bukti paling sederhana, DKK Solo tidak pernah memiliki program penanggulangan HIV/AIDS yang bersifat terarah, sistematis dan berkelanjutan. Program yang ada hanyalah kemunculan pejabat Pemkot Solo dalam acara seremonial hari AIDS.

Forum penyuluhan yang beberapa kali digelar sifatnya juga sangat parsial dan tidak menyentuh aspek gerakan nasional penanggulangan HIV/AID sebagaimana menjadi program kerja KPA dan KPAD. Dengan kata lain, KPAD Kota Solo belum menujukkan peran maksimal dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Khusus tentang eksistensi komunitas gay di Kota Solo dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS, menurut pemerhati masalah pemberdayaan perempuan yang pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusiaan dan Hak Azasi Manusia (Spek-HAM) Solo, Dyah Ningrum Roosmawati, risiko tinggi penularan HIV/AIDS jelas tidak sebatas di dalam komunitas gay saja.

Kenyataan ada sejumlah gay di Kota Solo yang memilih format kehidupan formal melalui  menikah dengan perempuan dan kemudian memiliki anak, adalah fenomena yang membutuhkan perhatian khusus. Gay yang menikah (dengan perempuan), menurut Argyo Damartoto, sejatinya hanya untuk formalitas sosial semata. Dengan demikian dipastikan ketika menikah tidak meninggalkan total orientasi seksualnya yang menyukai sesama laki-laki.

“Jika demikian kenyataannya, maka penularan HIV/AIDS akan menyebar ke komunitas di luar gay. Isteri seorang gay akan tertular HIV/AIDS jika gay suaminya itu tetap menjalankan aktivitas seks bebas dengan laki-laki lain yang tak jelas identitas kesehatannya. Jika isteri gay tertular HIV/AIDS, risiko berikutnya, anak yang dilahirkan juga akan tertular. Demikian seterusnya, rantai penyebaran HIV/AIDS akan semakin panjang dan menembus batas komunitas,” jelas Dyah.

Sejauh ini, imbuh Dyah, program Pemkot Solo yang relatif berkelanjutan hanyalah pada pelayanan pengobatan penyakit infeksi menular seksual (IMS), tetapi tidak melayani persoalan HIV/AIDS. Dan pelayanan kesehatan yang terkait dengan IMS-pun, menurutnya masih sangat sektoral dan belum mudah diakses oleh siapapun yang membutuhkannya.

Bahkan, dalam tataran yang sederhana, menurut Dyah, Pemkot Solo melalui otoritasnya tidak pernah menerbitkan sekadar brosur, pamflet atau penjelasan lain yang mudah diakses publik yang terkait dengan persoalan HIV/AIDS. Pernyataan Dyah ini bukan sekadar penilaian, tetapi ada buktinya.

Di beberapa papan pengumuman lingkungan RT/RW di Kota Solo, brosur kampanye penanggulangan HIV/AIDS yang tertempel justru beridentitas organisasi nonpemerintah (Ornop). Kalaupun ada brosur, pamflet dan selebaran lain yang berindentitas otoritas pemerintah, hanya yang diterbitkan oleh KPA Nasional dalam rangka peringatan hari AIDS. Selain itu, tidak ada yang secara khusus adalah hasil program kerja Pemkot Solo.

Jika alasan dana yang menjadi kendala sehingga Pemkot Solo terkesan tidak membuat program kerja khusus dan berkelanjutan dalam penanggulangan HIV/AIDS, menurut Syamsudin Dahlan, Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN Solo yang juga aktivis Persyarikatan Muhammadiyah Solo, mestinya Pemkot dapat berperan aktif menggalang kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional termasuk Ornop yang selama ini memiliki kepedulian dalam penanggulangan HIV/AIDS. Jadi,  menurut Syamsudin, keterbatasan anggaran APBD Kota Solo bukan alasan sehingga Pemkot Solo bisa menghindar dari “kewajiban” membuat dan menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS secara sistematis dan berkelanjutan serta melibatkan seluruh stakeholders.

Dalam konteks ini, sejumlah pihak di atas sepakat, perhatian khusus pada kelompok minoritas namun berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS penting untuk segera dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Menurut Alif, aktivis Pattiro Solo yang dua tahun belakangan intensif menyoroti kebijakan pelayanan kesehatan di Kota Solo, perhatian intensif terhadap kelompok risiko tinggi pada hakikatnya merupakan langkah terobosan untuk melindungi masyarakat yang lebih luas dari potensi terinfeksi HIV/AIDS. ***

 

Tulisan ini dimuat dalam buku 22 Jurnalis Cerita tentang AIDS, Gender dan Kesehatan Reproduksi, terbitan LP3Y Yogyakarta, 2007

Artikel Terkait

3 Replies to “Tentang komunitas gay, HIV/AIDS dan orientasi seksual”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

aji.solokota@gmail.com