Ichwan Prasetyo
Jurnalis SOLOPOS
Koordinator Divisi Advokasi dan Serikat Pekerja
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo
Membicarakan independensi dalam dunia jurnalisme—berdasar pengalaman saya—setidaknya akan berujung pada dua pembahasan besar, yaitu independensi jurnalis dan independensi media massa.
Saya menggunakan frasa media massa ini untuk menyebut sebuah perusahaan pers, entah itu penerbit koran, majalah, stasiun televisi, stasiun radio, portal berita di internet dan mungkin masih ada yang lainnya.
Independensi jurnalis adalah sebuah kredo—kata orang. Jurnalis harus netral—kata orang pula. Apakah memang demikian?
Bill Kovach—dan saya sepakat dengan dia—penulis buku The Elements of Journalism: Waht Newspeople Should Know and the Public Should Expect (Kovach menulis buku ini bersama Tom Rosenstiel) menyatakan seorang jurnalis tidak mencari teman, tidak mencari musuh.
Menjadi netral bukan prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektivitas—objektivitas ini selalu dikaitkan dengan independensi jurnalis, kata orang jurnalis yang baik harus independen dan objektif.
Independensi seorang jurnalis—menurut saya—adalah independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Semangat untuk independen jauh lebih penting dibandingkan netralitas. Jadi, wartawan bisa beropini—asal menjaga akurasi data. Dengan catatan, wartawan yang menulis opini sebaiknya tak menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain.
Independensi yang jauh lebih penting—sekali lagi menurut saya—adalah yang terkait dengan identitas jurnalis. Ada jurnalis yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, penganut Ahmadiyah, penganut Falun Gong bahkan ada pula yang tak percaya Tuhan tapi tak memuja setan.
Ada jurnalis yang asli Jawa, keturuan China, ras negro, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Latar belakang identitas yang berbeda-beda ini harus dijadikan bahan informasi untuk liputan mereka. Dalam konteks pribadi, jurnalis bukan pertama-pertama orang Jawa beragama Islam—seperti saya—dan kedua baru wartawan.
Jadi, mungkin—lagi-lagi menurut saya—independensi bagi jurnalis adalah jurnalis harus independen dari yang diberitakan dan merdeka untuk mendengarkan suara hati nuraninya.
Setiap jurnalis seyogianya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Setiap individu jurnalis harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun kariernya.
Menjalankan prinsip itu jelas tak mudah. Butuh suasana kerja yang nyaman, bebas, setiap orang dirangsang untuk bersuara. Konsekuensinya urusan manajemen (redaksi) menjadi lebih kompleks. Ini sudah masuk ranah independensi yang kedua, yakni independensi media massa.
Sekompleks apapun akibat yang muncul dari ”independesi” jurnalis, menurut saya—maaf lagi-lagi menurut saya—tak masalah asal ada mekanisme penyelesaian. Di sinilah peran pemimpin redaksi. Dia tak sekadar jadi pemimpin tapi harus menjalankan manajemen yang memungkinkan independensi (pribadi) jurnalis terwadahi semaksimal mungkin.
Dalam konteks hubungan jurnalis dan media massa (perusahaan pers) independensi bisa jadi masalah. Ada pemilik media massa yang menggunakan media untuk kepentingan sendiri. Dalam konteks ini jurnalis akan menghadapi dilema, sebagai jurnalis yang ”merdeka” dan profesional dan jurnalis yang statusnya buruh.
Pagar api adalah salah satu instrumen utama untuk menjaga independensi media massa. Dalam iklim industri, media massa berkompetisi agar menjadi yang paling laku, paling banyak oplahnya, paling banyak meraup iklan. Intinya mereka bersaing agar menjadi yang paling laku di pasaran. Ujungnya adalah ”berjualan”.
Di sinilah pagar api punya peran sentral dan sangat filosofis. Garis memisahkan redaksi dengan iklan/pemasaran. Garis api memisahkan berita adalah berita dan iklan adalah iklan. Persoalan berita dan iklan sebenarnya tak perlu memunculkan konflik. Sebenarnya sudah tersedia mekanisme penyelesaian.
Yang menjadi persoalan adalah ketika pemilik media massa tak paham filosofi jurnalisme, tak paham sembilan elemen jurnalisme. Pada dasarnya, media massa yang independen dan jurnalis yang independen—ingat, dengan catatan konteks independensi seperti yang saya kemukakan di atas—justru akan membuat media massa makin laku.
Demikian.
*Tulisan ini pernah dikemukakan sebagai pemicu diskusi dalam acara diskusi yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa UNS “Kentingan”, Minggu (15 Mei 2011), di Student Center UNS