Solo (Espos) Nasib mayoritas wartawan yang juga bagian dari pekerja atau buruh dinilai masih sangat memprihatinkan. Hal itu tampak nyata dari masih banyaknya perusahaan media yang menggaji wartawan di bawah kelayakan profesi wartawan.
Kenyataan inilah yang memicu banyaknya integritas dan independensi wartawan tergadaikan oleh sepucuk “amplop”.
Untuk memperingati Hari Buruh Sedunia yang jatuh Sabtu (1/5) ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo menyerukan kepada pemilik usaha media di Soloraya agar memberikan upah layak bagi jurnalis. ”Pemberian upah layak ini sama sekali berbeda dengan pengertian upah minimum kota (UMK),” tegas Ketua AJI Solo, Ariyanto, kepada Espos, Jumat (30/4).
Ariyanto menjelaskan, standar upah layak bagi seorang jurnalis sudah pernah dilakukan survei oleh AJI di sejumlah kota-kota besar di Nusantara. Hasilnya, kebutuhan hidup layak (KHL) seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya itu ternyata jauh di atas rata-rata KHL yang ditentukan oleh dewan pengupahan. ”Hal ini sangat rasional, mengingat tanggung jawab dan beban seorang jurnalis berbeda dengan buruh pada umumnya,” jelasnya.
Sejumlah survei yang dilakukan AJI Jakarta tahun 2008 terkait KHL seorang jurnalis ternyata mencapai Rp 4,1 juta. KHL ini sangat jauh berbeda dengan KHL yang diluncurkan dewan pengupahan yang hanya Rp 972.604. Sama halnya dengan hasil survei KHL jurnalis di Yogyakarta yang secara geografis dan kultur berdekatan dengan Kota Solo. Di Kota Gudeg itu, KHL seorang jurnalis tahun 2008 adalah Rp 2,7 juta. Padahal, KHL dewan pengupahan bagi buruh secara umum saat itu hanya Rp 586.000.
”Oleh karena itulah, sejak tahun 2006 AJI terus menyerukan upah layak bagi seorang jurnalis,” sambung Koordintor Divisi Advokasi dan serikat Pekerja, Ichwan Prasetyo.
Mengacu pada Pasal 10 UU Pers, kata Ichwan, segenap perusahaan media wajib memberikan peningkatan kesejahteraan pekerjanya. Bentuk kesejahteraan itu berupa kepemilikan saham, kenaikan gaji, bonus, serta asuransi yang layak. ”Singkat kata, menuntut kebebasan pers tanpa penyertaan kesejehteraan jurnalisnya, tak ubahnya mereduksi UU Pers itu sendiri. Dan di sinilah budaya wartawan amplop akan terus terjadi tanpa henti.” – Oleh : asa
Sumber: Solopos edisi Sabtu, 1 Mei 2010