JOGJA—Kebebasan pers media lokal masih terbelenggu motif ekonomi sehingga belum sepenuhnya berpihak ke publik. Di Jogja, belenggu itu ditambah sistem monarki yang membuat keberpihakan media pada publik kadang dipertanyakan. Kehadiran media alternatif yang independen perlu didorong untuk menjaga atmosfer kebebasan pers.
Hal itu mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Potret Independensi Media Lokal di Yogyakarta” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta di Auditorium Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (16/6/2022). Diskusi yang bekerjasama dengan UII dan Yayasan Kurawal itu memaparkan hasil riset akademisi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Gilang Jiwana Adikara.
Dalam risetnya, dosen Ilmu Komunikasi itu meneliti independensi media lokal di Jogja dalam memberitakan pusat kekuasaan di wilayah tersebut yakni Keraton Jogja. Fokus pemberitaan utamanya terkait isu pertanahan di DIY. “Awalnya AJI Jogja menggelar liputan investigasi soal isu agraria di Jogja. Namun dari semua media yang terlibat, tidak ada satu pun dari media lokal di Jogja. Pernah ada yang mencoba mendaftar tapi mundur. Ini sebenarnya ada apa?,” kata Gilang.
Bersama AJI Jogja, Gilang kemudian berinisiatif merancang peneliian dengan mengambil sampel tiga media lokal terbesar di Jogja yakni Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja dan Tribun Jogja. Penelitian dimulai sejak akhir 2021 hingga awal 2022. Ada dua hal yang dibidik yakni frame pemberitaan media mengenai isu pertanahan dan Keraton Jogja serta kebijakan redaksi media dalam memberitakan isu yang terkait dengan pertanahan Keraton Jogja.
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan pemberitaan di media online sepanjang 2021-2022 dengan kata kunci Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Diketahui penguasaan tanah di Yogyakarta oleh Keraton Jogja dilakukan melalui klaim atas SG dan PAG. Dari pengumpulan berita, tercatat sebanyak 43 berita terkait SG dan PAG dibikin Harian Jogja dalam rentang 2021-2022.
Adapun Tribun Jogja mengangkat 18 berita dan Kedaulatan Rakyat 16 berita. Dari hasil penelitian, Gilang menyebut media lokal di DIY memilih berhati-hati saat mengkritik persoalan publik yang menyangkut Keraton Jogja. “Seluruh media relatif melepaskan keberadaan Sultan atau Kadipaten yang mungkin terkait dengan konflik [agraria],” ujar Gilang.
Dia mencontohkan konflik lahan antara warga Jogja dengan PT Kereta Api (KAI). Dalam masalah tersebut, Sultan HB X tidak dimintai pendapat. Wartawan, imbuhnya, hanya mewawancara PT KAI dan masyarakat terdampak. “Di KR bahkan hanya terbit dua kali yang menggambarkan konflik antara warga dan kesultanan [kaitannya dengan tanah],” kata dia.
Ewuh Pakewuh
Sebaliknya, apabila isu yang diangkat terkait SG dan PAG untuk memakmurkan rakyat seperti wacana pemerintah dan Keraton Jogja selama ini, ketiga media lokal tersebut kompak memberitakan. “Ketiga Wacana itu diulang-ulang terus. Ini temuan menarik. Tapi kalau isu konflik, media lokal adem ayem, yang bikin hanya media nasional,” kata dia.
Dari hasil penelusuran ke kebijakan redaksi lewat wawancara, media terkait mengakui fokus pemberitaan lebih pada pemerintahan daerah bukan kekuasaan Kesultanan Jogja alias kerajaan. “Yang dikritik Sultan HB X sebagai gubernur bukan Sultan. Kalau ada kritik (ke pemerintah atau Keraton) diarahkan [wawancara media] ke pembantu Sultan entah sekda atau kepala dinas,” papar Gilang.
Selain itu, media juga sepakat pelaksanaan Undang-Undang Keistimewan (UUK) di Jogja sudah bagus meski tetap harus dikontrol. Menurut Gilang, ada upaya dari media di Jogja untuk menghindari protes keras dari masyarakat Jogja yang selama ini loyal terhadap kerajaan atau status quo. “Kritik dilakukan tapi ekstra hati-hati. Menghindari protes keras masyarakat Jogja yang dinilai masil loyal terhadap Keraton. Jadi daripada diboikot mending main halus,” tutur Gilang.
Kondisi tersebut diperkuat dengan tradisi ewuh pakewuh di Jogja. Hal itu terlihat dari pilihan redaksi KR yang menyatakan bukan takut mengkritik tapi segan dengan kerajaan. Hal itu berkelindan dengan kepentingan ekonomi. “Pasar mereka warga Jogja. Enggak bisa kritik keras ke sosok (Sultan) yang masih jadi panutan masyarakat,” tutur dia.
Media pun memilih jalan pragmatis karena pertimbanggan ekonomi. Alih-alih menghasilkan berita konflik meski terkait kepentingan publik, mereka memilih berita ringan atau yang sedang tren di media sosial meski jauh dari kepentingan publik. Gilang mengambil contoh kebijakan redaksi Tribun Jogja.
Tersandera Iklan
Faktor ekonomi dalam framing dan kebijakan redaksional media di Jogja juga diyakini akademisi komunikasi UII, Masduki. Doktor lulusan Jerman ini menyebut aktor yang mengontrol independensi media dapat dilacak dengan mudah. Hal itu tak lain pemerintah yang menggelontorkan APBN, APBD, dan sponsor untuk pasang iklan di media-media daerah, termasuk berbagai subsidi. “Kita sudah 25 tahun lebih mengklaim kebebasan pers tapi apakah (kinerja pers) produktif bagi demokrasi,” ujar Masduki.
Selain itu, media lokal dinilai punya ketergantungan ekonomi pada elit politik atau penguasa lokal dari pemerintah daerah di DIY maupun Keraton Jogja. Menurut Masduki, Jogja adalah potret kecil liberalisasi media dan politisasi media. Hal itu lantaran ada ketergantungan pada otoritas politik lokal. “Jogja mungkin liberal karena semua media boleh berdiri di sini. Namun (media) menjadi komprimistis terhadap keraton dan paternalisme kultur Jawa (ewuh pakewuh),” jelasnya lagi.
Masduki pun mengajak insan media berefleksi soal tujuan media didirikan, apakah setia terhadap kepentingan publik seperti amanah UU Pers atau murni motif ekonomi. Menurut Masduki, pertanyaan soal motif ini penting di tengah mayoritas kepemilikan media yang berpola jaringan dan dikelola dengan motivasi ekonomi serta politik yang lebih kuat ketimbang sosial. “Motif utama pasti motif bisnis. Pasti mengutamakan aset [ekonomi] dulu daripada kritik sosial (persoalan publik yang lebih penting),” sebut Masduki.
Media Alternatif
Pihaknya mendorong tumbuhnya media-media alternatif yang model bisnisnya ditopang oleh sistem membership atau iuran keanggotaan. Dengan demikian, media tidak bergantung terhadap APBD maupun penguasa lokal. Masduki menyebut munculnya media baru seperti Project Multatuli (PM) yang menyoroti persoalan publik yang serius menjadi oase di tengah karut marut independensi media arus utama saat ini.
Lebih jauh, Masduki menekankan pentingnya liputan-liputan kolaborasi yang mendalam untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Hal tersebut, imbuhnya, penting agar publik tak hanya disuguhi berita yang berat sebelah.
Anggota Dewan Pers, Paulus Tri Agung Kristanto, mengatakan media kini dihadapkan dengan tantangan berat. Di satu sisi, media dituntut untuk tetap independen dan kritis terhadap persoalan publik. Namun, di sisi lain mereka harus berkompromi dengan kekuasaan yang menjadi sumber penghasilan melalui iklan. Tantangan di Jogja, imbuhnya, semakin berat karena ditambah sistem sosial-politik yang loyal terhadap kekuasaan kerajaan. “Menegakan independensi saat ini seperti menegakkan benang basah. Sejarah media massa di dunia tidak lepas dari kepentingan parpol, elit politik, juga organisasi politik,” ujar Paulus.
Chrisna Chanis Cara, Jurnalis lepas, Koordinator Divisi Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta