SOLO – Kabar banjir rob yang melanda sejumlah daerah di pesisir utara Jawa Tengah pada akhir Mei 2022 cukup menyita perhatian. Sedikitnya sembilan wilayah di pesisir utara terendam rob hingga melumpuhkan aktivitas warga. Banjir rob di Demak kali ini bahkan disebut paling parah dibanding bencana sebelumnya.
Media-media pun berlomba memberitakan banjir rob di wilayah yang dipimpin Gubernur Ganjar Pranowo itu. Sebagian media fokus memberikan update bencana hingga dampak pada masyarakat sekitar. Ada yang mencari pernyataan politikus, mengaitkan banjir rob dengan kemampuan Ganjar mengelola lingkungan. Ada pula yang hanya mengutip pernyataan pejabat terkait atau “jurnalisme ludah”.
Tak banyak jurnalis yang menelisik banjir rob hingga akar-akarnya, kemudian membingkai realita tersebut untuk membantu mencari solusi permasalahan. Problem itu mengemuka dalam Webinar bertajuk Media, Ketahanan Pangan dan Krisis Iklim yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo bersama Google News Initiative, Selasa (24/5/2022). Hadir tiga narasumber yakni Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I BMKG Semarang, Sukasno, Redaktur Solopos, Ichwan Prasetyo dan Manajer Program Kota Cerdas Pangan Yayasan Gita Pertiwi, Khoirunnisa.
Dalam diskusi, Ichwan Prasetyo menyoroti peran media yang belum optimal dalam menyiarkan fakta dan membantu publik memahami urgensi bencana ekologis. Ichwan memandang kecenderungan jurnalis masih sebatas memberitakan peristiwa ketimbang menuangkannya menjadi tulisan yang mencerahkan. “Kalau hanya berbagi kabar, semua orang sekarang bisa berbagi informasi. Hari ini platform nonpers seperti media sosial bahkan sangat berpengaruh. Jurnalisme perlu memberikan lebih,” ujarnya.
Ichwan mengatakan jurnalisme bertanggungjawab menyampaikan fakta krisis iklim maupun isu lingkungan dengan pendekatan komprehensif tapi tetap mudah dipahami. Sehingga, pembaca dapat memahami akar permasalahan untuk kemudian mengambil sikap. Ichwan tidak menyarankan menulis berita yang cenderung “menakut-nakuti” meskipun hal itu kadang lebih mudah diterima warga.
Riset Reuters Institute, sekitar 50% responden menghindari berita buruk karena menggangu kondisi psikis mereka. “Misal soal banjir rob, warga mungkin bisa cepat waspada apabila media menampilkan realitas-realitas yang menakutkan soal itu. Namun hal ini tak akan membangun kesadaran warga (soal problem lingkungan/krisis iklim). Berita model seperti itu faktanya juga dihindari merujuk riset Reuters.”
Ichwan mengatakan jurnalisme solusi dapat menjadi metode yang memadai untuk mengangkat isu ekologis. Jurnalisme solusi fokus membeberkan fakta berbasis realitas dan telaah sains, kemudian menyampaikannya menjadi tulisan yang menggugah dan mudah dimengerti. Dalam jurnalisme solusi, wartawan didorong turun langsung untuk melihat realitas di lapangan. “Media juga perlu melakukan telaah mendalam. Misal kasus rob, apakah itu murni fenomena iklim, ataukah hanya karena tanggul jebol? Laporan ini bisa sangat berharga mengingat pemerintah hendak merelokasi hutan mangrove di pesisir utara untuk pembangunan tol,” urai dia.
Ichwan mengakui butuh ketekunan lebih untuk menghasilkan karya jurnalisme solusi. Tak hanya pantauan lapangan, jurnalis perlu mengumpulkan data dari pihak terkait untuk membingkai fakta yang lebih lengkap. Ichwan tak menampik kapasitas jurnalis dapat menjadi kendala dalam kerja jurnalisme solusi. “Memang butuh kerja lebih berat, hasil liputannya pun seringkali enggak click bait. Namun kita enggak boleh berhenti memberi pemahaman ke publik.”
Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I BMKG Semarang, Sukasno, mengatakan media punya peran penting dalam peningkatan literasi ihwal mitigasi bencana dan penurunan efek rumah kaca. Pihaknya berharap media dapat lebih sering mengangkat isu iklim untuk pembacanya. “Selama ini (peran media) sudah cukup bagus, tapi masih bisa ditingkatkan. Bentuknya bisa melalui edukasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” kata dia.
Sementara itu, Manajer Kota Cerdas Pangan Gita Pertiwi, Khoirunnisa, mengatakan media memiliki posisi strategis untuk mengawal isu perubahan iklim dan ketahanan pangan. Media, imbuhnya, juga menjadi partner bagi organisasi yang concern dengan isu lingkungan. Menurut Nisa, media punya tantangan untuk mengemas isu iklim agar lebih mudah dipahami anak-anak muda. “Media bisa membantu mempublikasi riset kolaboratif terkait perubahan iklim dan isu-isu pangan. Muaranya tentu penyadaran masyarakat, terutama generasi muda yang akan mewarisi bumi ini kelak,” ujarnya.