Sejak diluncurkan Oktober 2019 lalu, program Kampus Sehat diluncurkan Kementerian Kesehatan untuk mengoptimalkan pencegahan dan pengendalian penyakit, khususnya pada kelompok usia produktif di perguruan tinggi. Sebagai kampus percontohan, UNS didorong untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung dan menciptakan masyarakat kampus yang sehat dan produktif. Salah satunya adalah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai bagian dari terbentuknya kawasan Zero Tolerance.
Tidak hanya melarang iklan dan berbagai jenis bentuk penjualan produk rokok, perguruan tinggi diharapkan mampu mengintegrasikan budaya sehat sehari-hari di lingkungan kampus. Salah satunya membatasi ruang gerak aktivitas merokok. Hal ini bisa tercermin dalam kegiatan operasional sehari-hari, pengelolaan administrasi, dan kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan akademis lainnya.
Selain UNS, ada 3 perguruan tinggi lain yang juga ikut menjadi kampus percontohan program kampus sehat, yakni Universitas Andalas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Indonesia.
Namun hingga saat ini UNS baru memiliki Kawasan Tanpa Rokok yang berlaku di wilayah Fakultas Kedokteran (FK) sesuai dengan SK DEKAN FK UNS Nomor : 7827/UN27.06/TU/2013 Tentang Penetapan Kampus FK UNS. Ini berarti wilayah selain FK UNS bukan merupakan wilayah Kawasan Tanpa Rokok.
Smoking Area Kampus
Meski program itu sudah berjalan sekitar 7 tahun, hingga kini aktivitas merokok di wilayah kampus masih mudah ditemui. Hal ini diungkapkan oleh seorang mahasiswa kedokteran, Kayyis Hawari, yang menyebut dirinya kerap melihat adanya aktivitas merokok baik itu dilakukan oleh civitas maupun non-civitas.
“Biasanya sih saya lihat di parkiran atas (dekat Gedung FMIPA UNS), itu ya beberapa kali ngeliat,” imbuh mahasiswa semester VI ini.
Ia juga mengungkapkan dirinya memiliki beberapa teman sesama mahasiswa kedokteran yang masih merokok. Meski dirinya bukan perokok aktif, ia sempat mencicipi rokok ketika duduk di bangku sekolah dasar dan mengaku trauma atas kejadian itu.
Selama ini, menurut Kayyis, sosialisasi KTR hanya ia terima ketika masa ospek dahulu. Saat itu dia diperkenalkan oleh panitia ospek tentang peraturan yang mengkhususkan larangan adanya aktivitas merokok. Tidak hanya aktivitas merokok, larangan juga berlaku bagi aktivitas lain seperti memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.
Sementara itu, aktivitas merokok justru menjadi hal yang biasa di Kampus Fakultas Hukum (FH) UNS. Adalah Fadjran yang saat ini masih duduk di semester IV. Selain sebagai perokok aktif, ia bersama teman-temannya beberapa kali membeli rokok di kantin kampus. Seperti yang diketahui, kantin di kampus FH masih saja menjual rokok yang disimpan di lemari maupun di kotak/rak tertutup sehingga tidak terlihat dari luar secara langsung.
Meski mengaku sudah merokok sejak SMP, Fadjran sering memperhatikan lingkungan kala ia sedang menjejali batangan rokok ke bibirnya. Ia mengaku tidak merokok ketika ada anak kecil, ibu hamil, dan lingkungan bebas rokok.
FH sendiri memiliki ruang merokok yang diperuntukkan bagi civitas untuk merokok. Namun, tempatnya yang terbuka membuat Fadjran tidak pernah menggunakan fasilitas tersebut. Justru ruang merokok ini sering dipakai oleh pekerja yang sedang merenovasi bangunan di kampus. Ruangan yang terbuka memungkinkan asap rokok untuk dapat terbang bebas ke lingkungan kampus dan sekitarnya.
“Kurang layak gitu untuk tempat smoking area, kenapa enggak sekalian aja dilarang ngerokok seperti di FK. Toh UNS juga kampus hijau,” tambah Fadjran.
Kampus Sebagai KTR
Meski dirinya adalah perokok aktif, Fadjran justru sangat mendukung dengan adanya penerapan KTR terkhusus untuk seluruh wilayah kampus. Menurutnya, kampus merupakan fasilitas pendidikan sehingga perlu adanya perlindungan kesehatan untuk masyarakatnya dari asap rokok melalui KTR.
Ia merasa kampus perlu melakukan sosialisasi dengan memberi sarapan pagi gratis atau snack di siang hari. Selain mengapresiasi mahasiswa yang tidak merokok, dia menilai ini juga dapat menjadi pendekatan persuasif kepada para perokok aktif agar dapat mengganti rokok dengan snack yang disediakan.
Sebetulnya, Pemerintah Kota Surakarta sendiri melalui Perda No. 9 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok menjadikan perguruan tinggi menjadi sasaran area penerapan perda tersebut. Ini berarti tanpa adanya peraturan turunan maupun peraturan tambahan lainnya sekalipun, UNS secara otomatis merupakan KTR karena berstatus tempat belajar-mengajar.
Hal ini senada dengan pernyataan dr. Anung Sugihantono, M.Kes. dalam kesempatannya ketika menandatangani MoU dengan Rektor UNS Prof. Jamal Wiwoho, Rabu (16/10/2019). Saat itu dia menyebut masyarakat kampus dapat dijadikan contoh perilaku sehat untuk komunitas maupun lingkungan di rumah.
Selain fasilitas pendidikan, KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang menjadi sasaran objek dari pelaksanaan perda tersebut.
Memang penerapan Perda KTR butuh waktu penyesuaian sekitar 1 tahun untuk dapat optimal dalam pelaksanaanya. Setelah disahkan, pemerintah melalui dinas kesehatan menggencarkan sosialisasi mengenai KTR yang dimulai dari UPT Puskesmas. Setelah itu dilanjutkan masing masing kepala organisasi perangkat daerah, penanggung jawab fasyankes, orgranisasi profesi kesehatan, persatuan apotek, klinik kesehatan, perwakilan agama, kepala stasiun dan terminal, televisi, radio, perguruan tinggi, pusat berbelanjaan, dan lain lain. (Firdaus Ferdiansyah)