Peringatan World Press Freedom Day atau Hari Kemerdekaan Pers Dunia setiap 3 Mei menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan pers di setiap negara, termasuk Indonesia. Apalagi, dunia pers Indonesia masih diwarnai berbagai hal yang mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi.
Di Kota Solo, para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Surakarta dan sejumlah jurnalis lainnya menggelar aksi di Jl Gajahmada, tepatnya di depan Monumen Pers Nasional, pada Jumat (3/5/2019).
Peringatan World Press Freedom Day (WPFD) 2019 di Solo, defend journalism… By AJI Kota Solo, PPMI DK Solo, and friends pic.twitter.com/VL3DrrU0fg
— AJI Kota Solo (@aji_solo) May 3, 2019
Menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 2018. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga upaya pemidanaan terkait karya jurnalistik.
Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.
Pada awal 2019, kekerasan terhadap jurnalis oleh massa sudah terjadi 21 Februari lalu saat para awak media meliput kegiatan Munajat 212 di Monas, Jakarta. Terbaru, dua jurnalis foto, Iqbal Kusumadireza (Rezza) yang bekerja sebagai pekerja lepas dan Prima Mulia (Tempo), mengalami penganiayaan disertai penghapusan foto. Kekerasan ini terjadi saat mereka sedang menjalankan tugas jurnalistik, yaitu meliput aksi demo Hari Buruh di Kota Bandung, Rabu (1/5/2019).
Selain itu, kabar buruk datang dari Kota Semarang. Abdullah Munif, seorang pekerja perusahaan media di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), yang menerima pil pahit zehari menjelang peringatan May Day atau Selasa (30/5/2019). Tenaga lay out surat kabar Suara Merdeka itu menerima sepucuk surat yang berisi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dari perusahaannya.
Kasus-kasus di atas menjadi contoh potret buram dunia pers di Indonesia. Dua kasus di atas hanya sedikit dari berbagai masalah kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis, profesionalisme jurnalis dan media, dan independensi.
Karena itu, dalam indeks kebebasan pers dunia yang dilaporkan Reporters Without Borders (RSF) pertengahan April lalu menunjukkan Indonesia masih berada di peringkat ke 124 dari 180 negara alias stagnan. Masih adanya intimidasi, kekerasan, hingga adanya UU ITE serta UU Anti Penodaan Agama, menjadi penyebabnya.
Karena itu, dalam peringatan World Press Freedom Day 2019 ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Surakarta, beserta elemen lain, menyatakan beberapa hal berikut:
1. Meminta kepada semua pihak untuk ikut menghentikan fenomena kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis.
2. Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia, termasuk insiden kekerasan yang terjadi di Bandung pada 1 Mei 2019 lalu.
3. Mengimbau perusahaan media untuk memberikan upah layak dan kesejahteraan kepada para awak media, dan tidak mengabaikan hak-hak pekerjanya.
4. Berkaitan pers kampus, kami mendesak agar para pimpinan perguran tinggi untuk menjamin kebebasan berekspresi di kampus.
5. Mendesak Menristekdikti untuk memberikan perhatian dan menindaklanjuti kasus ancaman kebebasan berekspresi di perguruan tinggi, termasuk keputusan Rektor Universitas Sumatra Utara membubarkan Pers Mahasiswa Suara USU belum lama ini.
Solo, 3 Mei 2019
AJI Kota Surakarta
PPMI Dewan Kota Surakarta