aji.solokota@email.com 

aji.solokota@email.com

Kampanye Antisuap Harus Diperkuat (Bagian I)

Oleh: Ichwan Prasetyo
Advokasi dan Serikat Pekerja AJI Solo

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo mengajak seluruh elemen dunia jurnalisme memperkuat kampanye dan gerakan antisuap/antiamplop. Di internal AJI, kampanye dan gerakan ini bukan barang baru. Karena bukan barang baru, bagi anggota AJI sudah menjadi kredo sehari-hari dalam menjalankan profesi jurnalis.

Namun, penguatan gerakan dan kampanye antisuap/antiamplop sangat perlu setelah melihatfakta realitas budaya suap dan amplop di kalangan wartawan kian menjadi-jadi. Muhammad Rofiuddin, jurnalis TEMPO di Semarang, secara khusus meneliti perspektif fenomenologi budaya suap dan amplop di kalangan jurnalis saat menggarap tesisnya di Magister Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang.
Rofi–panggilan akrab jurnalis ini–memaparkan tesisnya setelah lulus diuji di Magister Ilmu Komunikasi FISIP Undip dalam sebuah diskusi di Sekretariat AJI Solo, Minggu (22/5). Rofi mengatakan tesisnya itu hanya berkutat pada penelitian fenomenologi, meneliti langsung realitas budaya suap dan amplop di kalangan jurnalis di Kota Semarang.

Penelitiannya melibatkan narasumber para jurnalis–yang sebagian besar biasa menerima suap atau amplop dan sebagian kecil tegas menolak suap atau amplop, para narasumber–yang sebagian besar biasa bahkan rutin memberikan amplop kepada jurnalis atau wartawan, dan para pengurus organisasi profesi jurnalis–yang sebagian bersikap tak peduli pada budaya suap/amplop dan hanya sebagian kecil yang tegas menyatakan perang pada budaya suap/amplop.

Nilai-nila estetis mengharuskan jurnalis menaati kode etik dan nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Jika jurnalis menerima amplop, menjadi persoalan serius terkait dengan profesionalisme dan nilai-nilai kode etik yang wajib ditaati. Persoalan seruius itu adalah kesucian profesi jurnalis yang dipertaruhkan, objektivitas dan independensi, dan pola-pola transaksional yang dilakukan media massa.

Apa bentuk suap/amplop dalam dunia jurnalisme? Wujudnya macam-mcam, di antaranya pemberian berupa karcis/tiket pertunjukan kesenian (musik, film, teater, pertandingan) untuk keperluan promosi,ditraktir narasumber berupa makan minum secara mewah atau agak mewah, pemberian berupa hadiah barang yang berharga mahal atau agak mahal, penyediaan fasilitas secara berlebihan secara gratis di ruang pers.

Selain itu,undangan untuk meliput peristiwa di luar kota dengan fasilitas (transport, penginapan dan konsumsi), undangan dari narasumber dengan berbagai fasilitas dan akomodasi plus uang saku dari pengundang,undangan untuk meliput peristiwa di luar negeri dengan fasilitas (transportasi, penginapan dan konsumsi) plus uang saku dari pengundang, serta pemberian amplop (berisi uang) dari narasumber, antara lain dalam konferensi pers atau briefing atau pada saat melakukan wawancara tanpa ikatan janji apapun antara kedua belah pihak.

Tergolong suap atau amplop adalah pemberian tiket/karcis dari narasumber kepada wartawan untuk ” pulang kampung” atau berpariwisata, sendirian atau bersama keluarga. Apalagi bila sekalian ditambah dengan uang saku. Suap/sogokan dengan ikatan janji untuk memberitakan atau untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan pemasangan iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi wartawan dan perusahaan pers.
Pedoman bagi jurnalis sebenarnya sangat jelas ihwal “haramnya” suap, amplop atau sogokan. Kode etik AJI Pasal 13: “Jurnalis dilarang menerima sogokan”. Kode Etik PWI Pasal 4: “Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektifitas pemberitaan”.
Kode etik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI): ”Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan dengan profesinya”. KEJ Dewan Pers, Pasal 6 “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”.
Secara legal formal juga diatur dalam UU No 40/1999 tentang Pers. Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No 40/ 1999 tentang Pers mengamanatkan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Di sini jelas disebutkan wartawan wajib menolak/tidak menerima suap.
Mengapa amplop/suap “haram” bagi wartawan. Jawaban pertama, jelas, karena itu tak selaras dengan nilai-nilai moral, etika dan regulasi tentang pers dan jurnalisme. Marcell Mauss (1872-1950) dalam karyanya The Giftmenyatakan:
1. Hadiah sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial. Pemberian hadiah menciptakan jalinan timbal-balik. Hadiah harus dibalas dengan hadiah lain.
2. Menerima hadiah bermakna sebagai penerimaan ikatan sosial.
3. Hadiah-hadiah yang dipertukarkan dalam relasi-relasi sosial menunjukkan perilaku bujukan, ganjaran, dan berbagai motif yang terulang-ulang.
(Bersambung)

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

aji.solokota@gmail.com