aji.solokota@email.com 

aji.solokota@email.com

Tafsir Realitas Kalatidha Dalam Ranah Politik Indonesia Kontemporer

esai sastra, kalatidha, pembantaian massal, kemanusiaan, artikel, sastra, G 30 S 1965, PKI, kontekstual, relevan, jurnalis, jurnalisme, media massa

Tafsir Realitas Kalatidha

Dalam Ranah Politik Indonesia Kontemporer

Oleh: Ichwan Prasetyo

(Naskah ini telah diikutsertakan dalam lomba Penulisan Esai Sastra 2009 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, tetapi tidak termasuk nominee pemenang)

1.

Suatu karya sastra bukan tak mungkin dipandang sebagai pelambang sosial walaupun pandangan iki tidak harus dipatuhi. Demikian uraian Jiwa Atmaja dalam Notasi Tentang Novel dan Semiotika Sastra, 1986. Menurut Ignas Kleden, sastra dapat menciptakan kenyataan tersendiri, yakni kenyataan imajiner. Namun, tidak berarti harus ditafsirkan bahwa sastra harus dipahami lepas dari konteks.

Kenyataan imajiner harus dimaknai bahwa dalam melukiskan suatu kenyataan fiktif, pengarang dapat saja mengambil bahan dari kenyataan obyektif. Maka pengertian sastra sebagai pelambang sosial pun tidak harus diartikan sebagai mengandung kenyataan sebenarnya sebagaimana seorang sedang melihat fotocopy suatu kenyataan. Ke dalam pengertian lambang itu, demikian Kleden, masih perlu diperhitungkan kadar kebenarannya, sebab ia bukan suatu pengertian yang diskursif.

Lalu muncul pertanyaan, adakah karangan – karya sastra apapun – yang mampu menjadi gambaran yang sesungguhnya dari suatu realitas individu atau pun masyarakat yang mana pun? Ariel Heryanto dalam Budaya Sastra, 1984, menilai tak ada satu pun karangan – karya sastra apapun – yang mungkin menggambarkan (yang sesungguhnya) sebuah realitas.

Selama ribuan tahun, demikian Ariel, masyarakat Indonesia telah menikmati ”sastra”. Selama ribuan tahun itu pula sastra tidak dipahami sebagai ”dunia imajinasi”, sebagai ”dunia fiktif” yang dipisahkan atau dipertentangkan dengan ”dunia nyata”. Sastra tradisional yang diungkapkan secara lisan pun dianggap sebagai sumber pengetahuan yang dapat menjelaskan asal usul nenek moyang, gunung, kota, kekuasaan raja dan sebagainya.

Melalui sastra mereka mampu mengungkapkan dan mewariskan pengetahuan tentang ”realitas” yang sesungguhnya yang pernah mereka pahami. Ilmu pengetahuan tak mungkin dapat diuraikan dengan bahasa yang tidak ”sastra” karena uraian abstrak yang analitis akan punah dari ingatan bila tidak diungkapkan dalam bentuk cerita.

Sejarah pun demikian. Sejarah yang dalam sastra tradisional merupakan salah satu sumber ”cerita” yang cukup penting, dalam ranah modern juga menjadi sumber realitas yang diuraikan dalam karya sastra. Dan dalam konteks ini pun akan muncul pertanyaan, apakah cerita sejarah yang terkandung dalam sebuah karya sastra itu ”benar-benar faktual”? Juga pertanyaan apakah cerita, tokoh, alur, konflik dan sebagainya yang menjadi unsur sebuah karya sastra bersumber sejarah memang betul-betul realitas sejarah itu sendiri?

”Memori” tentang bulan September selalu mengingatkan pada peristiwa G 30 S 1965. Peristiwa itu, menurut Dwi Susanto, dalam sebuah diskusi sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, menjadi memori kolektif yang terus direproduksi dan diwacanakan dalam segala bentuk, pendukung dan atributnya. Memang kini, peristiwa G 30 S 1965 telah memunculkan penafsiran dan interpretasi baru. Peristiwa itu semakin sering dieja ulang.

Kendati demikian, sejarah memang cenderung akan selalu subyektif dan memihak karena dia terikat pada konteks zaman, waktu penyusunan, kekuasaan, siapa yang menulis atau menggunakannya dan untuk apa sejarah itu dipelajari dan digunakan. Dalam dunia sastra Indonesia, peristiwa G 30 S 1965 sudah banyak diresapi oleh para intelektual.

Mohammad Sjoekoer, Sosiawan Nugroho, Gerson Poyk, Ashadi Siregar, Umar Kayam, Yudhistira A Noegraha, Ahmad Tohari, Ajip Rosidi, Nh Dini, Pramoedya Ananta Toer, Martin Aleida, YB Mangunwijaya, HG Upagati, Ki Panjikusmin, Zuli Dahlan, Usamah, Seno Gumira Ajidarma, adalah sebagian intelektual yang berani menginterpretasikan ulang peristiwa sejarah itu.

Di ranah karya sastra, ada sejumlah Cerpen (cerita pendek), puisi dan novel yang bercerita dengan latar belakang respons atas peristiwa G 30 S 1965. Karya-karya sastra itu diantaranya adalah trilogy Ronggeng Dukuh Paruk (novel), Jalan Bandungan (novel), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (novel), Anak Tanah Air, Secercah Kisah (novel), Durga Umayi (novel), Para Priyayi (novel), Malam Kelabu (Cerpen), Bintang Maut (Cerpen), Selat Bali (kumpulan puisi), Pada Titik Kulminasi (Cerpen), Perempuan dan Anak-anaknya (Cerpen), Perang dan Kemanusiaan (Cerpen), Ancaman (Cerpen), Kalatidha (novel) dan sejumlah karya lainnya.

Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma, 2007, bercerita tentang pembantaian massal terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang di-PKI-kan. Peristiwa ini terjadi tahun 1965, pasca peristiwa G 30 S. Kalatidha ditulis dengan perspektif atau sudut pandang korban dari peristiwa pembantaian massal itu. Seno menempatkan korban pembantaian massal sebagai pencerita, menceritakan pengalamannya sendiri.

Menurut Asep S Sambodja, dalam artikelnya yang diunggah di laman Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, novel Kalatidha menarik, bahkan penting untuk dianalisa, karena minimnya karya sastra di negeri ini yang mengangkat tema berkaitan dengan sejarah tahun 1965, khususnya peristiwa pembantaian massal pasca G 30 S.

Katrin Bandel (2009) mengatakan, sastrawan Indonesia yang mengangkat tema berkaitan dengan peristiwa 1965 memang relatif sedikit. Dari jumlah yang relatif sedikit itu, sebagian besar menggunakan perspektif yang sama dengan perspektif pemerintahan Orde Baru, yang selama masa kekuasaannya (1966-1998) menempatkan PKI sebagai bahaya laten dan lawan politik yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya.

Beberapa contoh karya sastra dimakdus diantaranya adalah Pergolakan karya Wildan Yatim (1974), Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam (1975), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982, 1985, 1986), dan Larung karya Ayu Utami (2001). Sementara sastrawan yang menggunakan perspektif yang berbeda dengan perspektif Orde Baru adalah Jamangilak Tak Pernah Menangis dan Mati Baikbaik, Kawan karya Martin Aleida (2004 dan 2009).

Setidaknya, menurut Asep, ada dua alasan sehingga peristiwa 1965 jarang diangkat sastrawan Indonesia sebagai latar belakang cerita dalam Cerpen atau novel mereka. Pertama, peristiwa bersejarah itu sengaja digelapkan oleh rezim Orde Baru, sehingga banyak sastrawan yang tidak tahu secara persis mengenai peristiwa tersebut. Kedua, dengan pengetahuan sejarah 1965 yang sangat terbatas seperti itu, sangat sedikit sastrawan Indonesia yang berani mengangkat cerita dengan latar belakang sejarah 1965.

Padahal, setiap tanggal 30 September kita diingatkan peristiwa sejarah itu yang mau tidak mau harus diakui telah berperan besar mengubah sejarah Indonesia. Baskara T Wardaya dalam Sejarah dan Tirani Modal (Kompas, 30 September 2009) menilai sejarah bagi sebagian kalangan dianggap hanya urusan masa lalu.

Anggapan tersebut harus dipikirkan ulang. Tiap dinamika sosial merupakan rangkaian diskontinuitas dan juga kontinuitas. Suatau peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu memang tak akan terulang. Kendati demikian, pola-pola dalam peristiwa itu bisa terulang kembali.

Kendati suatu peristiwa terjadi pada masa lalu, dampak atau konsekuensinya bisa berlangsung hingga saat ini, bahkan bisa juga pada masa depan. Hal ini terutama berlaku pada peristiwa-peristiwa besar, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kemanusiaan luar biasa pada masa lalu, meski selalu ada upaya untuk melupakannya. Peristiwa G 30 S tahun 1965 jelas merupakan peristiwa kemanusiaan luar biasa. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk mendistorsi, bahkan jika perlu untuk menghapus atas ingatan pada peristiwa itu.

Narasi yang dikenal masyarakat ihwal peristiwa itu pun sangat sederhana. Ada tujuh jenderal militer yang dibunuh secara keji oleh G 30 S yang dikendalikan oleh PKI. Berikutnya, menjadi wajar jika setengah juta pengikut PKI kemudian dibantai tanpa pengadilan, atau dipenjara secara massal. Narasi sederhana itulah yang sekian puluh tahun merasuk dalam memori bangsa ini. Narasi itu muncul dan mengalir melalui otoritas rezim penguasa yang masuk hingga ke semua sektor. Bahkan narasi dalam sastra pun turut segendangpenarian dengan narasi ini.

Padahal, menurut Baskara, narasi sederhana seperti itu, kendati mudah ditangkap, sebenarnya menyisakan banyak segi yang menuntut kajian hukum, kemanusiaan, moral, etika politik, sejarah, ekonomi dan lainnya. Dibutuhkan kajian multiperspektif untuk mendapatkan gambaran yang ”utuh” dan ”benar” tentang tragedi kemanusiaan tahun 1965 itu. Tanpa pemahaman memadai, bisa lestari anggapan korban tragedi tahun 1965 hanyalah mereka yang dibunuh atau dipenjara. Padahal, peristiwa 1965 itu menyangkut persoalan yang jauh lebih kompleks dibandingkan narasi yang sangat sederhana itu.

Dalam konteks kekinian, tragedi 1965 masih menyisakan ”hantu komunisme” yang memunculkan ketakutan ”di luar nalar” bagi sebagian eleman bangsa ini. Di sisi lain, masih dalam konteks kekinian, tak sedikit generasi bangsa yang tak tahu menahu atas tragedi 1965 harus ”tersingkir” dari ”peradaban bangsa” hanya karena punya pertalian darah dengan mereka yang dibantai atau dipenjara pascatragedi 1965. Tidak hanya itu. Peristiwa 1965 juga berpengaruh besar pada kebijakan politik ekonomi yang berkaitan langsung dengan hajat hidup seluruh warga bangsa ini.

Sejumlah karya sastra yang muncul sebelum era reformasi (sebelum tahun 1997/1998) yang mencoba memotret atau menggambarkan kisah berlatar belakang, atau malah kisah sebenarnya, peristiwa 1965 umumnya larut dalam narasi yang dikemukakan rezim penguasa. Hal ini tak bisa dihindari karena waktu itui rezim Orde Baru memang demikian kuatnya. Sudah beberapa kali terjadi peristiwa pelarangan buku hanya karena buku itu memuat wacana berbau Marxisme dan Leninisme. Apalagi jika buku itu memuat sudut pandang yang berbeda terkait peristiwa 1965. Sudah pasti tekanan rezim demikian hebat.

Dengan sudut pandang korban, melalui Kalatidha Seno mencoba mengungkapkan persoalan kebangsaan dengan pendekatan multikulturalisme. Gagasan yang mengemuka terfokus pada pertanyaan bagaimana mungkin penganiayaan dan pembantaian yang demikian ”hebat” itu bisa terjadi di kalangan anak bangsa yang terkenal menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pertanyaan yang lebih mendasar, bagaimana mungkin peristiwa itu terjadi hanya karena perbedaan ideologi politik semata, yang ternyata mampu mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Asep dalam narasinya tentang novel Kalatidha mengatakan novel karya Seno Gumira Ajidarma ini merupakan novel pesanan dengan bayaran yang cukup tinggi. Menurut Asep, pernyataan itu keluar sendiri dari mulut Seno dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia pada tanggal 8 April 2008. Kendati demikian, kesan ”keberanian” mengangkat peristiwa 1965 dalam novel dengan sudut pandang berbeda tetaplah kuat dalam Kalatidha. Bisa jadi, bayaran yang besar itu menjadi salah satu pendorong bagi Seno untuk mengungkapkan ”keberaniannya” menafsirkan peristiwa sejarah 1965 dalam Kalatidha. Lepas dari itu, dalam konteks kontomporer sebenarnya memang sudah terbuka kesempatan luas untuk mengemukakan penafsiran lain atas peristiwa sejarah 1965 yang berbeda dengan narasi versi rezim yang selama ini sudah mengurat akar di benak warga bangsa ini.

Kenapa peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) menjadi penting diangkat menjadi tema dalam karya sastra? Setidaknya seperti yang tersurat dalam tulisan Katrin Bandel, ada beberapa alasan. Pertama, peristiwa 1965 merupakan peristiwa sejarah yang luar biasa kompleksnya dan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan berbagai unsur dari dalam maupun luar negeri, sehingga tidak mudah untuk menentukan siapa dalang peristiwa tersebut.

Kedua, masyarakat Indonesia yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut sangatlah besar; meskipun sampai sekarang tidak ada seorang sejarawan pun yang berani memastikan jumlah korban tragedi 1965, namun akibat peristiwa itu adalah munculnya sebuah komunitas masyarakat yang merasa trauma dan dendam yang belum surut-surut hingga sekarang. Komunitas itu adalah keluarga para korban dari mereka yang saat itu dibunuh, ditangkap, disiksa, dipenjara, diasingkan, dibatasi hak-hak hidupnya tanpa proses pengadilan.

John Roosa (2008) mengatakan, peristiwa 1965 masih menjadi misteri sampai sekarang dan tidak bisa terungkap hanya melalui sebuah buku saja. Asvi Warman Adam (2009) menilai peristiwa 1965 masih kontroversial, karena penulisan sejarah yang bersifat subyektif. Dengan demikian diperlukan suatu historiografi yang ilmiah dan obyektif.

Di tengah minim, bahkan tidak adanya, historiografi ilmiah yang obyektif, setidaknya sampai saat ini, tentang peristiwa sejarah 1965, munculnya berbagai tafasir sejarah atas peristiwa itu harus dimaknai sebagai mozaik-mozaik yang jika dirangkai akan memunculkan pemahaman yang lebih menyeluruh terjadap peristiwa sejarah itu. Apalagi suara korban peristiwa 1965 selama puluhan tahun tidak mendapat ruang akibat represivitas rezim penguasa yang menilai narasi tunggal versi penguasa atas tafsir sejarah 1965 merupakan salah satu pilar penyangga kekuasaannya.

Asvi Warman Adam dalam The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (2003) menjelaskan, peristiwa G 30 S 1965 secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pembantaian massal ini nyaris tak pernah disebut dalam literatur sejarah di sekolah pada masa Orde Baru.

Masa-masa menjelang meletusnya peristiwa G 30 S 1965 cukup tepat digambarkan sebagai ”Ibu Pertiwi sedang hamil tua”. Yang dilahirkan kemudian dalah tragedi yang memakan sangat banyak korban dan menimbulkan penderitaan tak habis-habisnya sampai puluhan tahun kemudian, bahkan sampai saat ini. Hingga saat ini terhitung langka penelitian tentang peristiwa G 30 S 1965 yang dikerjakan oleh orang Indonesia  di tanah air. Kalaupun ada, wujudnya adalah karya akademis di luar negeri.

Dalam The Forgotten Years: The Indonesian’s Missing History of Mass Slaughter (Jombang-Kediri, 1965-1966), Hermawan Sulistyo menyimpulkan, pembantaian massal atas ratusan ribu anggota PKI (atau yang di-PKI-kan) itu tidak dilakukan secara sistematis. Polanya bervariasi dari suatu daerah ke daerah lain. Khusus menyangkut Jombang dan Kediri, pembasmian PKI merupakan ”konsekuensi logis” dari konflik yang sudah berlangsung bertahun-tahun antara berbagai faksi yang ada di dalam masyarakat lokal. Dan efek ”sejarahnya” nyaris sama, penderitaan tak henti bagi korban dan keluarganya, serta buramnya narasi sejarah obyektif tentang peristiwa itu.

Robert Cribb dalam The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (2003) mengatakan, pembantaian 1965 dilakukan dengan memakai alat sederhana seperti pisau, golok, kapak dan senjata api. Tidak ada kamar gas seperti pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman. Orang yang dieksekusi tidak perlu dibawa menjauh dari tempat tinggalnya. Korban bisa dieksekusi seketika di rumahnya, atau di dekat rumahnya. Kejadian pembantaian biasanya malam hari. Proses pembunuhan berlangsung relatif cepat, hanya beberapa bulan. Sementara Nazi Jerman memerlukan waktu bertahun-tahun. Dan Khmer Merah di Kamboja melakukannya dalam tempo empat tahun.

Peran harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha sangat krusial dalam peristiwa pembantaian massal ini. Dua surat kabar ini awalnya menyebarkan berita pembunuhan secara sadis atas para jenderal. Pembunuhan sadis terhadap para jenderal itu dilakukan oleh Gerwani. Ada berita yang menyebutkan kemaluan jenderal itu sampai dipotong oleh anggota Gerwani. Padahal berdasar hasil visum et repertum dokter, sebagaimana diungkapkan oleh Ben Anderson (1987), jenazah para jenderal itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena pukulan gagang senjata atau terbentung dinding sumur. Berita perilaku sadis para wanita kiri itu kemudian memicu kemarahan masyarakat yang berujung pembantaian massal anggota PKI atau yang di-PKI-kan.

Menurut Robert Cribb, ada beberapa cara untuk menghitung jumlah korban pembunuhan massal pasca G 30 S 1965. Menurut Fact Finding Commision  yang dibentuk setelah peristiwa sejarah itu (berarti akan berujung pada versi resmi pemerintah dan instansi keamanan), jumlah korban adalah 78.000 orang. Namun, Oei Tju Tat yang menjadi ketua tim itu mengatakan angka telah dikecilkan. Lebih tepat mendekati obyektif jika ditambah nol (0) satu pada angka 78.000 itu. Sementara Kopkamtib dalam salah satu laporannya menyebut angka satu juta jiwa (800.000 jiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta 100.000 di Bali dan Sumatra).

Cara lainnya dengan menghitung jenazah yang menjadi korban pembantaian. Cara ini memungkinkan dengan cara membongkar semua kuburan massal yang tersebar di banyak tempat di Indonesia. Namun, diyakini jumlah yang diperoleh tidak akan akurat karena tidak sedikit korban pembantaian yang dicampakkan begitu saja ke hutan, sungai atau laut. Metode lainnya dengan meminta kesaksian dari korban yang kebetulan selamat, yaitu orang yang menyaksikan pembunuhan atau malah pelaku pembunuhan itu sendii.

Metode selanjutnya dengan teknik demografi. Caranya dengan membandingkan jumlah penduduk suatu daerah sebelum terjadinya G 30 S 1965 degan setelah selesainya peristiwa pembantian massal orang-orang PKI atau yang di-PKI-kan. Jumlah korban pembunuhan massal diperoleh dari selisih jumlah penduduk sebelum dan sesudah peristiwa pembantaian massal. Robert Cribb menyebut jumlah ”moderat” 500.000 orang sebagai angka wajar jumlah korban pembantian massal 1965. Menurut Cribb, pembantaian massal pasca G 30 S 1965 adalah salah satu pembantaian terbesar pada abad XX. Yang mengherankan, peristiwa ini jarang dibicarakan dalam sejarah Indonesia. Baru belakangan ini saja ada upaya untuk menafsir ulang sejarah 1965 yang sebelumnya dihegemoni oleh narasi rezim yang sangat sederhana dan cenderung menghilangkan peristiwa pembantaian massal tersebut.

Pengabaian atas peristiwa sejarah pembantaian massal 1965 cukup mengejutkan. Lumrahnya, kejadian seperti itu akan memotivasi munculnya instropeksi mendalam. Sejarah modern Jerman mencatat bahwa Jerman telah dihadapkan pada fakta yang demikian jelas tentang tragedi ”holocaust”. Penelusuran asal muasal dan akibat yang ditimbulkannya, saat ini merupakan salah satu upaya besar yang lebih penting dalam sejarah Jerman modern.

Pada abad sebelumnya, pembantaian massal terhadap kaum Protestan Perancis di Paris pada peringatan Hari Bartholomew, 24 Agustus 1572, banyak dipandang sebagai kejadian yang sangat penting dalam sejarah Eropa. Sejarah Kamboja juga tidak dapat diubah dengan peristiwa pembantaian massal oleh Pol Pot. Dan kendati sejarawan Jepang berusaha menghindari isu kekejaman militer Jepang sebelum dan sesudah Perang Dunia II, namun isu tersebut tetap merupakan bahan tulisan yang menarik bagi penulis Barat yang memandang kejadian tersebut sebagai petunjuk berharga bagi pola perilaku bangsa Jepang saat ini dan di masa yang akan datang.

Yang lebih memprihatinkan, tidak terlihat adanya tanda-tanda bahwa para pembantai merasa memiliki beban moral atas pembantaian yang mereka lakukan. Walaupun, mereka melakukan pembantaian biasanya berhadapan langsung dengan korban,seringkali mereka memenggal kepala korban dengan sebilah pedanga, melukai korban dengan kapak, golok, bukan dengan satuan regu tembak atau kamar gas seperti yang dilakukan Nazi Jerman atau rezim Pol Pot. Hal yang sangat menarik untuk dijadikan bahan tulisan para novelis adalah kemampuan penyesuaian mental para pelaku pembantaian tersebut.

Para pembantuan telah melalulan tindakan yang sangat tidak manusiawi, tetapi tetap dapat mempertahankan rasa kemanusiaannya. Para pelaku pembantaian massal tetap tidak terpengaruh atas apa yang pernah mereka lakukan, dan tetap dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya, juga masyarakat yang lebih luas dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan. Para pelaku pembantaian massal pasca G 30 S 1965, tidak menunjukkan beban moral atas apa yang telah mereka lakukan. Menurut Micahel van Langenberg, sebagaimana dikutip Robert Cribb,  rasa malu yang mendalam atas terjadinya pembantaian ini adalah bagian yang penting dari basis politik Orde Baru, juga Orde Reformasi saat ini, yang juga merupakan jendela yang sangat berarti untuk menguak realitas sejarah tragedi 1965 itu.

2.

Kalatidha diawali kutipan Serat Kalatidha karya pujangga Jawa Ranggawarsita (1802-1873). Kutipan yang diterjemahkan oleh Seno ke dalam bahasa Indonesia itu berbunyi:

Mengalami zaman gila

Hati gelap kacau pikiran

Mau ikut gila tak tahan

Jika tidak ikut tak kebagian

Akhirnya kelaparan

Sebenarnya kehendak Tuhan

Seuntung-untungnya lupa

Lebih untung yang ingat dan waspada

Kutipan ini cukup kontekstual dengan suasana tahun 1965 pasca G 30 S. Dan sebenarnya juga tetap kontekstual dan relevan dengan era sekarang. Era dimana, menurut banyak kalangan, banyak kejadian dan peristiwa bersumber globalisasi dan kapitalisme yang memunculkan efek negatif berkepanjangan bagi sebagian akyat di negeri ini. Efek negatif itu berupa harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin mahal, biaya sekolah yang semakin mahal dan ”tipuan” sekolah gratis yang ”sangat menyesatkan”, politik yang semakin pekat dengan aktivitas ”dagang sapi”, biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal dan sebagainya. Semua efek negatif itu terutama dirasakan oleh kalangan rakyat kecil, kaum miskin, baik di desa maupun di kota.

Kutipan dari Serat Kalatidha di atas memang terasa relevan dengan apa yang terjadi di negeri ini pasca G 30 S 1965. Politik pasca G 30 S 1965 menyisakan banyak penafsiran, pertanyaan, juga kesimpulan-kesimpulan, yang bagi orang awam tidak memunculkan satu kesimpulan pokok. Hingga kini jauh lebih banyak warga bangsa ini yang berkeyakinan sesuai narasi rezim, bahwa G 30 S 1965 adalah petualangan PKI yang hendak mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Dari sisi telaah politik, PKI memang pasti akan merebut kekuasaan, namun dalam konteks G 30 S 1965 sebenarnya banyak fakta yang belum terungkap, dan iki mulai diungkap oleh kalangan peneliti, sejarawan dan intelektual, yang kemudian menyajikan banyak fakta yang membawa pada pemikiran memang banyak aktor yang bermain di balik tragedi G 30 S, bukan hanya petualangan PKI untuk merebut kekuasaan.

Serat Kalatidha yang membuka novel ini mengisyaratkan tentang zaman edan. Setiap pembicaraan tentang zaman edan pasti merujuk pada karya Ranggawarsita ini. Pada saat merasa tertindas, teraniaya, banyak orang yang mencari hiburan. Fenomena semacam ini juga dialami bangsa Indonesia ketika tertindas oleh kaum penjajah, atau oleh penguasa. Hiburan klasiknya adalah harapan akan datangnya sang juru selamat, Ratu Adil. Di kalangan orang Jawa, cerita tentang kedatangan Ratu Adil ini dikaitkan dengan ramalah atau jangka Ranggawarsita. Dan anehnya, ketika kini bangsa ini terjajah oleh nafsu yang menjelma dalam bentuk anarkisme multidimensi, orang juga banyak bertanya tentang Ratu Adil. Narasi tentang zaman edan, zaman kacau, yang mengiringi tragedi politik 1965 juga dikaitkan dengan jaman edannya Ranggawarsita ini.

Dulu, perubahan politik pasca G 30 S ada yang memaknai sebagai akhir zaman edan, akhir dari kekuasan Soekarno yang penuh hingar-bingar jargon dan semboyan, politik mercusuar. Naiknya kekuasaan rezim Orde Baru ada yang memaknai sebagai datangnya Ratu Adil. Namun, kenyataannya, setelah berkuasa sekian lama, hingga runtuh pada 1997 melalui gerakan mahasiswa dan rakyat, Orde Baru justru menumbuhkan zaman edan baru. Awal kekuasaan yang dimulai dengan ”ke-edan-an” dengan pembunuhan massal ratusan ribu jiwa anggota dan simpatisan PKI, juga mereka yang di-PKI-kan kemudian memunculkan zaman edan baru yang berlanjut hingga sekarang, dengan versi ”ke-edan-an” yang lain.

Kalatidha berisi 25 bab yang ditulis dengan teknik kolase. Sebuah teknik penulisan yang membutuhkan kemahiran berolah kata dan menyusun alur peristiwa. Dan Seno mampu menyuguhkan teknik kolase dalam Kalatidha secara memikat. Dalam Kalatidha ada tiga tokoh utama yang merepresentasikan korban tragedi 1965. Tokoh Aku, yang kakak perempuannya melarikan diri karena diberi stigma sebagai anggota atau akivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organisasi pergerakan perempuan yang menjadi underbow PKI, pada masa-masa pencidukan.    Tokoh Perempuan yang (dianggap) gila setelah seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, mati terbakar di dalam rumah karena ayahnya dituduh sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga kebudayaan yang menjadi underbow PKI. Joni Gila, yang tidak lain adalah keponakan si Aku, yang sakit jiwa karena hampir semua keluarganya tewas dibantai pada 1965.

Dari 25 bab dalam novel Kalatidha, dengan ketebalan 234 halaman ini, enam bab berisi gambaran peristiwa 1965 pasca G 30 S yakni pembantaian massal, pencidukan orang-orang PKI atau yang di-PKI-kan, penahanan, pemerkosaan, dan penyiksaan. Seno menggunakan teknik penceritaan dengan sudut pandang tokoh Aku sebagai pencerita dan memberi porsi yang cukup banyak dalam novel ini kepada tokoh Perempuan yang dianggap gila dan tokoh Joni Gila.

Perspektif yang digunakan Seno Gumira Ajidarma ini sangat berbeda dengan narasi tragedi 1965 versi pemerintah Orde Baru, perspektif yang dianggap resmi selama ini. Dalam hal pembantaian massal, misalnya, jika dalam buku-buku sejarah yang resmi digambarkan secara hambar seperti tidak ada kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia, maka Seno Gumira Ajidarma menampilkannya dari perspektif korban yang merasakan langsung pembantaian massal itu. Joni Gila adalah contoh konkret kenapa ia menjadi gila karena hampir seluruh keluarganya dibunuh pascaperistiwa G 30 S.

Kutipan dari halaman 19-21 novel Kalatidha ini setidaknya memberi gambaran konkret atas peristiwa pembunuhan yang harus dimaknai sebagai tragedi kemanusiaan terbesar di era Indonesia modern. Orang itu meludah dan memaki. Para pemburu serempak maju dan meringkusnya, tetapi orang itu memberontak dengan seluruh tenaganya, seperti kambing yang mencancapkan kakinya menolak disembelih. Salah seorang memukul kepalanya dengan pentungan besi. Ia langsung pingsan dengan darah mengalir di wajahnya. Ia diseret keluar kelas……….

Di luar kelas rupanya sudah banyak orang masuk ke halaman sekolah. Mereka berteriak-teriak dan memaki-maki. Segala kata yang tabu diucapkan di rumah dan di sekolah kami dengar semua hari itu. Semuanya kata-kata yang menindas dan kejam. Hari itu kami melihat dan mendengar segala sesuatu yang tidak pernah dibenarkan. Kami melihat betapa seseorang bisa dikutuk dan dihakimi begitu rupa………

Orang itu diseret dan sembari terseret ia ditendang dan digebuk begitu rupa sehingga kurasa ia sebetulnya sudah mati. Ia tampak lemas dan berat seperti karung. Aku tidak keluar kelas, tetapi naik ke atas mejaku dan menonton lewat jendela. Kulihat debu mengepul dari tengah kerumunan di tempat kami biasa main sepak bola……Aku masih berdiri di atas meja ketika kulihat orang yang malang itu dilempar ke atas truk di depan gerbang sekolah…..Kulihat betapa di lantai dekat papan tulis terdapat tetesan-tetesan darah.

Dalam kutipan tersebut tokoh Aku menjadi saksi kekejaman massa ketika menciduk dan menganiaya seorang pemuda yang diyakini sebagai anggota Pemuda Rakyat, organisasi pemuda underbouw PKI. Padahal bisa jadi pemuda itu tak tahu menahu peristiwa G 30 S yang berakhir pada terbunuhnya sejumlah jenderal TNI-AD. Kalaupun pemuda itu benar anggota Pemuda Rakyat, apa kaitan dia dengan peristiwa G 30 S 1965, semestinya jauh panggang dari api. Namun kesalahan utama dia di hadapan massa adalah statusnya sebagai anggota Pemuda Rakyat yang underbouw PKI. Dengan demikian dia layak untuk dijadikan korban membalas kematian para jenderal AD. Sementara massa yang menciduk dan menganiaya pemuda itu bisa jadi, bahkan pasti, tidak tahu secara persis apa yang terjadi di peristiwa G 30 S 1965. Mereka semata terprovokasi oleh narasi rezim penguasa baru.

Tokoh Aku menjadi saksi sebuah gerakan massa yang berujung pada penganiayaan dan pembunuhan sesama manusia tanpa proses peradilan yang berdasar pada tegaknya hukum, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Kalatidha mampu memberikan gambaran sekilas, namun deskripsinya begitu jelas, tentang peristiwa pembunuhan sewenang-wenang pada manusia yang ”kesalahannya” hanya karena status politiknya sebagai anggota atau simpatisan PKI, atau bahkan sekadar difitnah sebagai anggota atau simpatisan PKI, atau di-PKI-kan. Stigma yang berkonotasi negatif itu, di-PKI-kan, akan berakibat cukup berat bagi siapapun yang menerimanya.

Tokoh Aku sempat mengalami stigma negatif itu yang berawal dari kegemarannya mengoleksi perangko dan kebetulan tokoh Aku itu mendapatkan perangko terbitan Uni Soviet. Tokoh Aku begitu terkesan dengan gambar perangko itu yang memuat gambar palu arit dan dirasa sangat khas dan indah. Berikutnya, karena begitu terkesannya dengan gambar palu arit di perangko terbitan Uni Soviet itu, pada pelajaran menggambar di sekolah tokoh Aku menggambar palu arit itu. Akibatnya dia dimarahi oleh guru dan kemudian dicap PKI oleh kawan-kawannya. Tokoh Aku sama sekali tidak tahu apa itu PKI, tentang PKI hanya didengarnya selintas. Namun akibat dari kegemarannya mengoleksi perangko dan apresiasinya atas gambar palu arit, berakibat cukup gawat. Sungguh sebuah penggambaran realitas pasca G 30 S 1965 yang sejalan dengan narasi rezim Orde Baru yang berujung pada ketakutan  berlebih pada komunisme atau komunistofobia. Akibat lanjutannya, siapapun yang dicap sebagai PKI, atau di-PKI-kan akan menderita seumur hidupnya, hak-hak sipilnya direduksi sedemikian rupa.

Gambaran edannya efek peristiwa G 30 S 1965 dalam bentuk tragedi kemanusiaan juga diceritakan Seno melalu tokoh Aku dalam sebuah peristiwa lainnya. Gambaran itu terdapat dalam halaman 25. ……..Ia berlari cepat sekali ke arahku, karena memang hanya di tempatku berdiri terdapat ruang kosong. Aku terpaku, kakiku seperti menancap di dalam tanah. Mungkin ia berpikir anak kecil seperti aku mudah dipinggirkan agar bisa lolos ke seberang sungai. Namun sebelum mencapai tempatku ia sudah jatuh menggelosor. Ia meluncur tengkurap di atas tanah dan berhenti tepat di depanku. Di punggungnya terdapat sebilah kapak. Menancap erat menembus daging mematahkan tulang, tetapi ia tidak mati.

Orang banyak segera berdatangan dan meminggirkan aku. Segera saja aku berada di luar lingkaran, namun ketika orang itu kepalanya terangkat karena rambutnya dijambak ke atas, mata kami sempat bertatapan. Aku juga tidak mampu merumuskan apa yang tersampaikan dalam tatapannya, meski tatapan matanya itu masih kuingat sampai sekarang.

Di dalam rumah yang terbakar kulihat gadis kecil itu terisak-isak. Lelaki yang jatuh dengan kapak menembus punggung itu bukan ayahnya. Berarti yang masih berada di dalam rumah adalah ayah, ibu, dan saudara kembar gadis kecil itu. Api berkobar menghabiskan rumah………. Kekejaman seperti itu hanya terjadi di dalam sebuah zaman yang memang edan, persis gambaran yang dikemukakan Ranggawarsita.

Terkait tokoh Perempuan gila dan Joni Gila, muncul pertanyaan apa relevansinya kegilaan itu dengan peristiwa G 30 S 1965. Hilmar Farid (dalam Sambodja, 2008) menjelaskan, penggunaan tokoh Perempuan gila atau dianggap gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkapkan kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Sementara Melani Budianta (dalam Sambodja, 2008) menjelaskan, tokoh perempuan kembar itu (satu terbubuh dan satunya menjadi gila atau dianggapa gila) merupakan representasi dari bangsa Indonesia.

Tokoh perempuan yang mati terbunu, menurut Asep Samboja,  menyimbolkan masa lalu yang penuh dengan kekerasan. Sementara perempuan yang masih hidup dan dianggap gila menyimbolkan masa kini yang masih gagap dalam melihat sejarahnya sendiri, karena tak mampu melihat kekerasan yang terjadi. Dalam perspektif sejarah, masa lalu tetaplah sebuah rangkaian atas terwujudnya masa sekarang. Apa yang ada sekarang adalah haisl atau rangkaian dari masa lalu. Tragedi kemanusiaan G 30 S tetap harus dimaknai sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kekejaman yang merasuk hingga ke pelosok desa pada waktu itu tidak boleh dihapuskan dari ingatan generasi bangsa ini. Bagi generasi baru yang tak mengalami masa itu, pembacaan atas peristiwa itu haruslah dengan sarana yang jujur, pembacaan sejarah sebagaimana adanya.

Simbolisme matinya perempuan saudara tokoh Perempuan gila hendaknya dimaknai sebagai kesepakatan bersama untuk memandang secara jujur peristiwa 10965. Fakta sejarah kekejaman manusia atas manusia yang terjadi pada 1965 tidak boleh kembali terulang, tidak boleh terjadi lagi, inilah makna perempuan yang mati dalam Kalatidha. Namun matinya perempuan tersebut tidak boleh dimaknai sebagai kematian yang sia-sia dan kemudian dilupakan begitu saja. Kematian itu harus dimaknai sebagai penanda sejarah. Bahwa pada 1965 memang terjadi tragedi kemanusiaan dengan korban ratusan ribu hingga jutaan jiwa yang mati mengenaskan, tanpa tahu apa kesalahannya, dan tanpa mengalami proses pengadilan sesuai tatanan hukum yang berlaku. Pembacaan secara jujur atas tragedi ini harus memunculkan kesepakatan bersama antara generasi dari korban dan generasi dari pelaku, bahkan antara korban efek peristiwa itu dengan para pelakunya, yakni kesepakatan untuk meninggalkan apa yang telah terjadi (tanpa melupakannya sebagai pengingat bahwa itu tidak boleh terjadi lagi) dan kemudian menuju pada upaya nyata untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Penggunaan tokoh gila atau dianggap gila oleh Seno Gumira Ajidarma, menurut Samboja, merupakan strategi Seno Gumira Ajidarma untuk menampilkan sebuah peristiwa yang memang tidak mudah ditangkap atau dicerna oleh akal sehat manusia, bahkan oleh para pelaku G 30 S 1965 sekalipun. Dalam Kesaksianku tentang G 30 S (2000), Soebandrio mengemukan fakta yang mendukung penilaian bagaimana Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief yang merupakan otak dan pelaksana pembunuhan terhadap petinggi Angkatan Darat yang diklaim sebagai Dewan Jenderal merasa yakin bahwa mereka akan diselamatkan oleh Soeharto, meskipun mereka dipenjara dan diadili. Keyakinan mereka didasari pengakuan Kolonel Abdul Latief bahwa rencana pembunuhan terhadap Dewan Jenderal itu sudah diberitahukan kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto. Tapi, kenyataannya Letkol Untung pun dihukum mati dan Kolonel Abdul Latief dihukum penjara seumur hidup.

Tokoh Joni Gila dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) karena dituduh telah membunuh ayahnya sendiri. Dalam tiga bab yang khusus berisi “Catatan Joni Gila” terungkap bahwa ia membunuh ayahnya karena sang ayah telah membunuh ibunya. Selain itu, dalam pengakuan tokoh Aku, terungkap bahwa Joni menjadi gila karena dampak dari peristiwa pembantaian massal yang menimpa keluarganya. …Terus terang Joni sebetulnya keponakanku sendiri, dan yang dibunuhnya masih terhitung kakak sepupuku. Karena tidak ada lagi keluarganya yang masih hidup semenjak gelombang pencidukan pada tahun 1965-1966…. . Begitu bunyi kutipan penjelasan tokoh Aku tentang siapa Joni Gila yang tercantum pada halaman 206 novel Kalatidha.

Eksisteni tokoh Joni gila ini sungguh merupakan penggambaran yang cerdas sekaligus simbolisme yang akurat oleh Seno tas dampak tragedi 1965. Akibat pencidukan  oleh kekuatan kontra PKI, banyak orang yang sebenarnya tidak tahu menahu apa itu PKI, bukan anggota PKI, dan juga bukan pelaku pembunuhan jenderal-jenderal dalam peristiwa G 30 S, harus turut menanggung beban hidup yang sangat berat. Karena begitu beratnya  beban yang harus disangga, akibatnya jiwanya terguncang dan kemudian menjadi gila. Dalam kegilaannya, bayang-bayang pembunuhan atas orang-orang terdekatnya, keluarganya, bahkan kawan-kawannya tetap tidak hilang. Dan efeknya, kemampuan untuk membunuh sebagai katarsis atas beban berat yang disangganya menjadi salah satu pilihan untuk keluar dari beban hidupnya itu. Tragedi 1965 tidak hanya bermakna politik, tetapi juga menyentuh pribadi-pribadi yang sesungguhnya sebelum peristiwa G 30 S hidup bersama dalam rukun dan damai dengan manusia lain yang kemudian menjadi kelompok pembunuhnya.

Nasib tokoh Perempuan yang dianggap gila tak kalah tragis. Ketika masih berumur 10 tahun, perempuan itu, yang secara tidak sengaja juga dialami oleh tokoh Aku, melihat dengan mata kepalanya sendiri rumahnya yang dibakar massa. Di dalam rumah itu terdapat ayah, ibu, dan saudara kembarnya yang masih sakit. Rumahnya dibakar massa karena ayahnya adalah anggota Lekra yang mengajarkan lagu “Genjer-genjer”, lagu rakyat dari Banyuwangi yang dipopulerkan oleh Bing Slamet. Tentu saja sang anak yang masih kecil itu tidak bisa menerima peristiwa itu dengan akal sehatnya. Hingga menginjak usia remaja, ia sering mondar-mandir di depan rumahnya yang telah hangus terbakar—yang kemudian diperbaiki dan ditempati secara tidak sah oleh keluarga tentara. Karena sering mondar-mandir di depan rumah itu dengan pakaian dan tingkah laku yang itu-itu juga, maka perempuan itu akhirnya ditangkap dan dibawa ke RSJ.

Di RSJ itu, ia dimandikan dan ternyata menjadi perempuan yang molek. Para dokter jaga hingga dokter kepala di RSJ itu kemudian memperkosanya secara bergiliran dan terus-menerus. Seno Gumira Ajidarma, menurut Asep Samboja, tidak berhenti sampai di situ saja, sebagaimana pengakuan perempuan-perempuan korban tragedi 1965 yang terhimpun dalam Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F Nadia, Seno membuka ruang refleksi yang baru, bahwa perempuan korban kekerasan itu tidak bisa menerima perkosaan yang dilakukan oleh para dokter di RSJ itu. Dalam hatinya masih ada rasa dendam yang luar biasa.

Dalam Kalatidha Seno menggambarkan aksi balas dendam itu dengan memasukkan ruh perempuan yang sudah mati terbakar, saudara kembar perempuan gila itu,  ke dalam tubuh perempuan yang dianggap gila itu. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia membunuh satu per satu dokter yang ada di RSJ, hingga semuanya mati, kecuali petugas bagian dapur RSJ. Selain itu, perempuan yang dianggap gila itu juga membunuh orang-orang yang dulu membakar rumahnya. Dari 257 orang yang terlibat, tidak ada satu pun yang diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Semuanya dibunuh, kecuali satu orang yang ditunda pembunuhannya karena belum mau mengakui kesalahan yang pernah dilakukannya pada 1965 dulu. Aparat hukum yang memeriksa kasus pembunuhan berantai itu pun merasa kesulitan menangkap pelakunya, namun pada akhirnya mereka bisa memaklumi pembunuhan berantai itu setelah mengetahui latar belakang para korban.

Kemudian terhubung-hubungkan juga bahwa sejumlah korban sama-sama pernah memimpin pencidukan dari rumah ke rumah antara tahun 1965 sampai 1969. Mereka bukan politikus, bukan aktivis, bahkan juga bukan simpatisan lawan-lawan PKI melainkan sekadar orang-orang yang hanya bisa mendapatkan kesenangan dalam penderitaan orang lain. Seandainya situasi politik berlangsung sebaliknya, mereka juga akan berada di baris terdepan perusakan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Manusia-manusia yang jika dilahirkan kembali akan jadi kecoa, kelabang, atau tikus-tikus got.

Upaya Seno Gumira Ajidarma menghadirkan “luka masa lalu” berupa ruh perempuan yang mati terbakar ke masa kini, yang merasuki perempuan yang dianggap gila, menurut Asep Samboja, memperlihatkan kegeniusan Seno Gumira Ajidarma dalam mengangkat cerita yang berlatar belakang sejarah 1965. Pembantaian massal yang merenggut nyawa ratusan ribu hingga jutaan jiwa, karena sampai sekarang belum ada data pasti, tentu saja masih meninggalkan trauma dan rasa dendam. Sudah pasti rasa dendam itu masih ada pada anak cucunya yang masih hidup. Namun, dendam ini disalurkan kemana dan kepada siapa? Soeharto? Sarwo Edhie Wibowo? RPKAD? CIA? Amerika Serikat? NU? Yang pasti, belum ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Indonesia untuk mengungkap peristiwa bersejarah yang masih berkabut ini. Dalam Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma secara tersirat mengungkapkan dendam yang belum berakhir.

Selain Joni Gila dan Perempuan yang dianggap gila, Seno Gumira Ajidarma juga menghadirkan cerita empat tahanan politik yang ditahan selama 14 tahun tanpa proses pengadilan. Dan, setelah mereka dibebaskan, tidak ada permintaan maaf sedikit pun dari pemerintahan Rezim Orde Baru, apalagi merehabilitasi nama baik mereka dan pemberian kompensasi. Dalam konteks 1965, yang melakukan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya adalah Paspampres Cakrabirawa, namun kenapa yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu, hanya gara-gara mereka berafiliasi pada PKI? Kenapa rezim Orde Baru menggeneralisasikan semua anggota PKI sebagai penculik dan pembunuh para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965 (Gestok)? Bahkan mereka yang sial karenan di-PKI-kan hanya karena berselisih pendapat dengan tetangga atau penguasa setempat, juga diposisikan sebagai “anggota PKI yang bersalah karena telah membunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat.

Dalam Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma mengungkap kisah tragis keempat tahanan politik tersebut, termasuk seorang Paspampres Cakrabirawa yang tidak terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat, namun mengalami siksaan hanya lantaran ia kenal Letkol Untung . Logikanya, bagaimana mungkin seorang anggota Paspampres Cakrabirawa tidak mengenal Letkol Untung yang saat itu menjabat sebagai Komandan Batalyon Cakrabirawa? Namun, hal itu sepertinya sangat wajar mengingat rakyat kecil yang jauh dari pusat kekuasaan saja mengalami pembantaian, apalagi orang-orang yang berada di ring satu.

Kalatidha memang tidak membicarakan perebutan kekuasaan dari Soekarno oleh Soeharto, melainkan lebih banyak mengangkat suara-suara orang-orang kecil yang sama sekali tidak pernah terdengar atau terbaca dalam buku sejarah nasional Indonesia. Buku sejarah seringkali melupakan suara-suara orang-orang kecil seperti itu, padahal merekalah yang merasakan dampak langsung dari diberlakukannya suatu aturan yang dikeluarkan oleh elite politik. Peraturan yang diproduksi MPRS RI berupa Tap MPRS/XXV/1966 mengakibatkan darah orang-orang kecil mengalir.  Dalam novel Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma menggunakan teknik kolase, yang menggunakan guntingan-guntingan berita koran atau kliping sebagai bagian dari cerita. Kliping koran itu dimaksudkan untuk menjadi setting waktu untuk memperkuat ide cerita. Jadi, guntingan-guntingan koran itu dihadirkan bukan tanpa fungsi sama-sekali. Dengan membaca kliping koran tersebut, dimana yang dominan adalah harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha—dua surat kabar milik militer yang tetap diperbolehkan terbit ketika peristiwa G 30 S itu terjadi, sementara koran-koran lainnya baru diperbolehkan terbit pada 6 Oktober 1965, muncul pertanyaan apa yang terjadi kemudian?

Cukup banyak cerita fiktif yang termuat di surat kabar milik militer itu yang kemudian menjadi rujukan media lain dan buku-buku sejarah. Di antara cerita fiktif itu adalah adanya tarian telanjang yang dilakukan anggota Gerwani sebelum jenderal-jenderal itu dibunuh; kemudian adanya cerita bahwa penis para jenderal itu diiris-iris dan matanya dicongkel sebelum dibunuh. Tidak hanya itu, cerita fiktif yang muncul itu kemudian memprovokasi masyarakat untuk membenci PKI dan ormas-ormasnya. Visum et repertum dokter yang memeriksa jenazah para jenderal yang diungkap Ben Anderson (lihat Adam, 2009: 169) membongkar dan membalik 180 derajat cerita-cerita fiktif yang telanjur beredar di masyarakat luas itu.

Selain Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, Seno Gumira Ajidarma juga memuat guntingan berita dari Kompas dan Bintang Timur. Melalui tokoh si Aku, Seno Gumira Ajidarma menilai bahwa koran-koran yang terbit pada masa itu memang menggambarkan semangat zamannya. Masing-masing media memberitakan suatu peristiwa berdasarkan visi atau ideologi yang berada di balik masing-masing media. Sebagai contoh, harian Angkatan Bersenjata mengangkat berita-berita yang sangat anti-PKI, sementara Bintang Timur mengangkat berita-berita yang pro-Soekarno. Seno Gumira Ajidarma tampaknya sengaja menampilkan guntingan-guntingan koran yang menggunakan bahasa yang buruk, provokatif, yang selalu mengajak rakyatnya untuk berperang.

Terlepas dari tipisnya perbedaan antara fakta dan fiksi, secara konvensional kita bisa dengan tegas mengatakan bahwa novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma merupakan fiksi, meskipun berisi atau berdasarkan fakta yang pernah terjadi pada 1965. Yang jelas, karya sastra semacam itu memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi bagi sastrawan untuk mengungkap kabut politik 1965 yang masih pekat. Dari perspektif penulisnya, yakni Seno Gumira Ajidarma, telah memberikan suara yang baru dan unik terkait peristiwa 1965, yakni suara para korban tragedi 1965. Ada yang hendak disuarakan Seno Gumira Ajidarma melalui Kalatidha ini, yakni menyuarakan orang-orang yang termarginalkan, orang-orang kecil, orang-orang yang dibungkam dan ditindas; orang-orang yang tidak pernah didengar suaranya. Saya melihat, kecenderungan Seno Gumira Ajidarma dalam karya-karyanya memang sebagian besar seperti itu (Sambodja, 2007).

Dari perspektif pembaca, apalagi yang membaca novel itu adalah para korban tragedi 1965, maka novel tersebut bisa dianggap sebagai sebuah media katarsis untuk mendapatkan kesempatan menjalani hidup dengan lebih baik lagi, karena trauma atau pengalaman buruk yang pernah dialaminya telah tersuarakan. Dengan demikian, diharapkan sumbangan sastrawan seperti ini dapat memberi rasa lega, karena selama ini mereka diposisikan sebagai orang-orang yang bersalah tanpa proses pengadilan dan dilarang bersuara selama Orde Baru berkuasa. Bagi pembaca lainnya, novel Kalatidha memang memaparkan luka-luka masa lalu, namun sangat jelas terbaca pesan Seno Gumira Ajidarma bahwa sejarah masa lalu harus terus dipelajari agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

Teknik kolase yang digunakan Ceno dalam penceritaan Kalatidha dengan memanfaatkan guntingan berita koran juga memberikan pelajaran tentang kekuatan media massa. Dalam konteks sejarah adalah milik mereka yang menang, media massa berperan strategis untuk mengukuhkan narasi sejarah versi penguasa, narasi sejarah yang bersifat mendukung legitimasi penguasa (pemenang).

Noam Chomsky dalam Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Politik Kuasa Media Massa (2009) menjelaskan, fakta di media massa hanyalah rekonstruksi dan olahan para pekerja redaksi. Sulit untuk dapat mengatakan bahwa apa yang mereka tulis itu adalah fakta yang sebenarnya.

Walaupun awak redaksi media massa itu telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik yang presisi, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakan apa yang mereka tulis adalah fakta sebenarnya. Selalu saja ada kekurangan dalam setiap sudut pandang dan rekonstruksi peristiwa dan fakta sebenarnya ke dalam fakta media. Terlebih ketika media itu menjadi corong bagi penguasa, sengaja diposisikan membela satu kekuatan politik tertentu.

Dalam bukunya itu Chomsky menjelaskan,”Pekerjaan lain yang harus dilakukan adalah memelintir sejarah”. Itulah jalan lain menyingkirkan penghalang. Yaitu rekayasa keadaan hingga seakan-akan ketika kita menyerang dan menghancurkan satu pihak, kita terlihat sedang melindungi dan mempertahankan diri dari para penyerang atau monster penghancur dan seterusnya.

3.

Apa relevansi novel Kalatidha dalam tafsir politik Indonesia kontemporer? Jika mencermati uraian sebelumnya, Kalatidha jelas sangat kontekstual dan relevan dengan kondisi politik Indonesia masa kini. Pasca G 30 S 1965 kondisi politik Indonesia mengalami pasang surut. Perulangan pola pembunuhan massal 1965 sebagai ikutan peristiwa G 30 S kembali terjadi pada peristiwa mundurnya Soeharto, penguasa Orde Baru, pada 1997 akibat aksi massa mahasiswa dan rakyat. Skala tragedi kemanusiaannya nyaris sama dengan pembunuhan massal 1965, yakni ketika banyak warga keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran kebrutalan massa atas nama kebencian pada rezim Orde Baru. Kalatidha memberi peringatan bahwa itu adalah hal yang tidak perlu. Apapun bentuknya, tragedi kemanusiaan yang berujung pada hilangnya nyawa manusia lain adalah sebuah ”kesalahan” yang harus menjadi bahan renungan bersama untuk kemudian memunculkan inisiatif guna menghentikannya agat tidak terulang di masa mendatang.

Kalatidha juga memberikan pelajaran penting tentang efek kebijakan politik yang sepenuhnya demi kepentingan politik. Dendam kesumat, rasa sakit hati, menjadi efek mikro yang melekat pada pribadi-pribadi yang menjadi korban. Menjadi kewajiban semua pihak untuk mengatasi persoalan dendam kesumat dan sakit hati itu. Rekonsiliasi yang menyeluruh menjadi pilihan yang cukup ideal. Apa yang dilakukan oleh kalangan muda Nahdlatul Ulama melalui pergerakan lembaga Syarikat menjadi salah satu contoh menuju rekonsiliasi nasional antara korban dan pelaku tragedi 1965.

Kendati, resistensi dari beberapa pihak atas nama komunistofobia masih sering muncul menghalangi upaya tersebut. Contoh mutakhir adalah tindakan sekelompok orang yang mengaku sebagai kelompok antikomunis yang mendatangi kantor redaksi harian Jawa Pos, beberapa hari setelah media itu menayangkan tulisan Dahlan Iskan, petinggi media itu, yang intinya mengarah pada pembenihan rekonsiliasi antara pelaku dan korban tragedi politik dan kemanusiaan di Madiun (yang juga dikaitkan dengan pertentangan politik antara PKI dengan non-PKI). Dahlan yang menuliskan profil salah seorang tokoh PKI yang berperan penting dalam dinamika politik Indonesia masa itu kemudian mengajak orang tersebut ke sebuah pondok pesantren dan bertemu dengan kalangan ”korban”.

Hasilnya ternyata sangat positif, tidak ada dendam yang mengemuka dalam pertemuan itu. Tidak ada sikap yang menunjukkan keinginan membalas dendam atas luka masa lalu. Pun pihak pelaku dengan besar hati juga menyampaikan permintaan maafnya atas kesalahan yang terjadi di masa lalu yang semata-mata terjadi karena kondisi politik saat itu. Namun ternyata ada pihak di luar kedua pihak yang menyatakan tidak suka dengan pembenihan rekonsiliasi itu dan kemudian melakukan aksi ”sepihak” menentang pembenihan rekonsiliasi. Inilah yang menjadi pekerjaan  bersama yang hendak dikemukakan oleh Kalatidha, pekerjaan besar menuju rekonsiliasi nasional.

Armada Riyanto dalam Sejarah Partisipatoris (Kompas, 30 September 2009) menjelaskan, manusia adalah ciptaan Tuhan yang menyejarah. Artinya, manusia adalah pencipta sejarahnya. Sayangnya, sejarah kerap kali menjadi sebuah laporan politis sebuah rezim. Narasi historis disistematisasi, dimanipulasi dan diterminologisasi untuk sebuah kekuasaan. Sejarah kemudian menjadi sarana indoktrinasi. Inilah yang menjadi salah satu kenyataan pasca tragedi 1965 yang kemudian berujung pada masih suburnya resistensi atas segala sesuatu yang berkaitan dengan narasi tentang PKI. Peristiwa G 30 S 1965 telah lama diktum historisnya digandengkan dengan kudeta PKI dan aneka bentuk kutukan hidup manusia saat ini.

Laporan politis selalu mengabdi pada kekuasaan. Sedangkan sebuah kesadaran sejarah akan peristiwa jatuh bangunnya bangsa mengabdi pada kemanusiaan. Yang pertama mengedepankan indoktrinasi, sedangkan yang kedua melakukan studi dan mengajukan pertanyaan. Korban G 30 S 1965 bukan hanya para jenderal Angkatan Darat. Ratusan ribu bahkan ada yang mengatakan hingga jutaan nyawa manusia turut menjadi korban. Para jenderal menjadi Pahlawan Revolusi, sementara korban yang jauh lebih banyak hingga kini tak dikenal. Para ahli sejarah sepakat bahwa G 30 S 1965 adalah sebuah tragedi kemanusiaan terbesar bagi bangsa kita. Ranah tragedinya bukan hanya pada fakta pembasmian, pembantaian, massa secara ngawur maupun sistematis terhadap mereka yang dikategorikan PKI dan antek-anteknya, tetapi juga terhadap para peselamat dan keluarganya.

Majalah Intisari pernah melaporkan dan menyimpulkan bahwa kesalahpahaman tragis pelaporan penganiayaan para jenderal Angkatan Darat Pahlawan Revolusi sebagai kesalahan media. Pierre Bourdieu mengatakan media massa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi alat kekuasaan. Maksudnya, bahasa komunikasi media massa bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga mempropagandakan ideologi. Dan aneka fenomena selanjutnya. Inilah, Kalatidha mengajak media massa untuk turut mengoreksi narasi sejarah tragedi 1965 yang terlalu berat sebelah itu. ***

(Penulis adalah jurnalis di harian umum SOLOPOS)

.

Artikel Terkait

3 Replies to “Tafsir Realitas Kalatidha Dalam Ranah Politik Indonesia Kontemporer”

    1. dan sekarang mestinya media massa menggelorakan perspektif lain itu. karena dosa media massa juga lho ketika kemudian versi tentang G30S selalu dengan ikutan “/PKI”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

aji.solokota@gmail.com