aji.solokota@email.com 

aji.solokota@email.com

“Jurnalis rawan mengalami trauma”

Oleh: Ivan Indrakesuma

Profesi jurnalisme terkadang tidak lepas dari berbagai gangguan yang bisa mengancam keselamatan jiwa bahkan nyawa mereka. Jurnalis yang tewas ketika berada di daerah konflik atau kecelakaan, maupun kisah di balik aktivitas jurnalis yang meliput tragedi bencana, bukan satu dua kali terjadi.

Meskipun hal itu sudah menjadi sebuah risiko, namun bukan berarti seorang jurnalis harus rela mengorbankan jiwanya begitu saja, tanpa ada upaya menyelamatkan diri. Dalam realitasnya, hampir setiap jurnalis pernah mengalami gangguan saat peliputan maupun pasca berita yang dibuatnya dimuat di media massa.

Jurnalis tak jarang mendapat ancaman, intimidasi, hingga mengalami trauma meskipun dalam skala yang paling kecil sekalipun. Berbagai pengalaman tak mengenakkan pun kerap mereka alami.

Berbagai pengalaman itu sempat diungkapkan sejumlah jurnalis saat mengikuti pelatihan Jurnalisme, Konflik dan Trauma, selama dua hari, Sabtu (12/12)-Minggu (13/12), di Hotel Indah Palace, Solo. Pelatihan yang digelar Yayasan Pulih Jakarta dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo ini diikuti sejumlah jurnalis dari berbagai media, yang bertugas di Kota Solo.

Pengalaman tidak mengenakkan sempat dialami Aries Susanto, jurnalis dari harian umum SOLOPOS. Kenangan yang sempat membuatnya trauma itu berawal dari tulisannya seputar kampanye Pilkada. Tulisan itu mendapat bantahan dari pihak terkait, karena dinilai tidak sesuai dengan fakta.

Jurnalis lainnya, Ferdinand dari Media Indonesia, mengaku mengalami hal tidak mengenakkan seusai peliputan bencana gempa bumi di Yogyakarta. Dia yang semula tidak tega melihat kondisi korban, pada akhirnya pun harus tega melihat berbagai hal mengenaskan di hadapannya. “Saya dikondisikan menjadi raja tega. Ya karena sebelumnya tidak pernah melihat, tetapi dengan meliput bencana dan kondisi korban, menjadikan saya harus tega terhadap hal-hal yang sebelumnya membuat miris,” paparnya dalam sesi perkenalan.

See also  Geliat buruh bertahan hidup di Kota Makmur (3)

Pemateri dari Yayasan Pulih, Wakhit Hasim, memaparkan, para jurnalis memang berpotensi mengalami trauma dalam peliputannya. Yaitu mendapatkan pengalaman buruk yang bisa menyebabkan jurnalis selalu teringat kejadian tersebut. Trauma itu bisa muncul ketika si jurnalis mengalami langsung pengalaman buruk yang mereka dapatkan, maupun ketika mereka menyaksikan apa yang dialami oleh para korban yang mengalami trauma.

Parahnya, lanjut Wakhit, bila trauma yang dialami itu tidak ditangani, bukan tidak mungkin jurnalis yang bersangkutan akan mengalami depresi. “Gejala yang muncul dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari akan muncul. Misalnya, mimpi buruk, diliputi perasaan marah, tak berdaya, duka atau bersalah, bisa juga merasa mati rasa secara emosional dan gejala lainnya.”

Sebagian besar jurnalis mampu mengatasi rasa trauma yang mereka alami. Namun ada pula yang sebaliknya dan justru berkelanjutan. Sekitar seperempat jurnalis dengan pengalaman yang luas mengenai peliputan konflik dan perang akan mengalami gejala perubahan perilaku akibat stres pascatrauma. Wakhit menyarankan agar para jurnalis yang belum mampu mengatasi trauma, mendapat intervensi secara psikologi. “Trauma yang tidak bisa diatasi sendiri dua hingga enam bulan, perlu mendapat intervensi psikologi. Sementara pihak perusahaan perlu memberikan pendampingan maupun konsultasi setelah jurnalis selesai bertugas,” tandas dia.

* Dimuat di Harian Umum Solopos [14/11/2009]

Artikel Terkait

2 Replies to ““Jurnalis rawan mengalami trauma””

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

aji.solokota@gmail.com