aji.solokota@email.com 

aji.solokota@email.com

Geliat buruh bertahan hidup di Kota Makmur (2)

Oleh: Ayu Prawitasari (Sekretaris AJI Solo)

UMK bak buah simalakama di mata buruh

Setiap perusahaan wajib membayar buruh mereka sesuai upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang berlaku. Demikian diamanatkan Undang-undang (UU) No 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 88 yang menyebutkan buruh berhak mendapatkan upah layak yang nilainya ditetapkan oleh pemerintah.

Di Kabupaten Sukoharjo, UMK 2009 ditetapkan senilai Rp 710.000. Sementara untuk tahun depan, UMK yang diusulkan Bupati kepada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) senilai Rp 769.000 per bulan. Usulan tersebut hanya terpaut Rp 500 dari hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan secara tripartit yang melibatkan unsur buruh, pengusaha dan pemerintah yakni senilai Rp 769.500.

Melihat rekapitulasi komponen KHL Kota Makmur yang menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Sugiyanto, sama untuk semua daerah berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No PER-17/MEN/VII/2005 mengenai Pedoman Survei Penetapan KHL, ada beberapa hal yang ganjil menurut Bagian Litbang Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sigit Hastono.

”Dari tujuh komponen survei KHL yang ditetapkan Pemkab (Pemerintah Kabupaten), coba lihat komponen ketiga yaitu perumahan,” ujarnya ketika dijumpai Espos, Kamis (8/10) pekan lalu.

Sewa rumah

Di bagian perumahan, ujar dia, buruh mendapatkan jatah sewa rumah sederhana ukuran 3 x 3 meter dengan harga sewa Rp 40.000 per bulan. Mencermati ketetapan harga sewa rumah, tambah Sigit, jumlah itu jauh dari kata logis.

“Sekarang mana ada rumah kontrakan yang sewanya Rp 40.000 per bulan? Apa buruh dengan keluarga kecilnya itu disuruh kos saja? Tapi, walau kos, menurut saya juga irasional sebab sewa kamar kos yang paling jelek di dekat pabrik lebih dari Rp 80.000 per bulan.”

See also  Memahami feature

Intinya, sambung Sigit, Pemkab Sukoharjo maupun pemerintah pusat dari awal melalui survei KHL sudah membuat aturan tertulis buruh tidak boleh punya rumah.

Komponen kedua yang dinilai ganjil, sambung Sigit, yakni untuk bidang pendidikan. Dalam komponen tersebut, buruh hanya diperbolehkan membuat pengeluaran bacaan dan radio senilai Rp 20.000 per bulan.

”Kalau ada kata mutiara bahwa orang miskin tak boleh sekolah, itu benar adanya. Dengan jatah Rp 20.000 per bulan, bagaimana mungkin para buruh bisa menyekolahkan anak-anak mereka.”

Terkait dengan survei KHL yang menjadi acuan UMK, menurut Sigit ada suatu kesalahan fatal sejak awal. Bahwa survei tersebut dilakukan terhadap buruh yang statusnya lajang, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Di posisi ini, tambah Sigit, sama saja pemerintah melarang buruh menikah, punya anak kemudian menyekolahkan anak-anak mereka supaya pintar agar tak menjadi buruh lagi.

“Survei KHL menurut saya adalah cara sistemik pemerintah membuat rakyat selalu tidak berdaya dan selalu bermental sebagai buruh,” tandas Sigit.

Hal senada diungkap peneliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Akatiga Bandung, Indrasari Tjandraningsih.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Akatiga bekerja sama dengan Serikat Pekerja Nasional (SPN) di delapan kabupaten se-Indonesia, tiga di antaranya di Jawa Tengah, UMK tidak layak dipertahankan.

“Dari hasil penelitian kami, KHL buruh khususnya di Jateng antara Rp 2 juta untuk yang belum berkeluarga hingga tertinggi Rp 6 juta untuk yang sudah berkeluarga dengan dua anak. Sementara UMK rata-rata Jateng hanya Rp 700.000 sampai Rp 800.000 per bulan baik untuk lajang maupun yang sudah berkeluarga,” ujar dia.

Imbas antara UMK yang sudah tak sesuai dengan kebutuhan riil atau hanya memenuhi 40% dari kebutuhan riil tersebut, imbuhnya, buruh terpaksa harus mencari utangan setiap bulan, mengurangi bahkan tidak mengkonsumsi sama sekali makanan bergizi hingga menikah untuk menyiasati agar kebutuhan bulanan terpenuhi.

See also  Pelajaran Rusdi Mathari: Karena Jurnalisme Bukan Soal Kecepatan

*Dimuat di Solopos dan menjadi Pemenang III Penghargaan Jurnalistik untuk Liputan Isu Perburuhan 2009

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

aji.solokota@gmail.com