aji.solokota@email.com 

aji.solokota@email.com

Jurnalisme dan Etika, oleh Nursyawal

Jurnalisme dan Etika

Nursyawal

“Kebebasan Berpendapat adalah Hak Azasi Manusia Universal. Di dalamnya, terintegrasi Kebebasan Pers. Tanpa Kebebasan Pers, Kebebasan Berpendapat terancam. Sekaligus mengancam Hak Azasi Manusia itu sendiri. Seperti yang masih terus berlangsung hingga hari ini di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia,
baik di benua Eropa, Afrika, Australia, Asia dan Amerika, yang tidak terdapat ancaman atas kebebasan pers. Bahkan sekarang ancaman itu makin nyata.” (Peter Phillip, Radio DW Jerman)

Mengapa manusia menyusun kesepakatan yang namanya Hak Azasi Manusia? Pertanyaan dasar ini akan menjawab mengapa perlu adanya kebebasan pers. Secara moral, manusia membangun mekanisme komunikasi sebagai alat untuk membangun dan mengikat hubungan sosial antar manusia.

Tidak banyak cerita yang mengungkapkan adanya makhluk hidup yang bisa hidup sendirian tanpa asal muasal dan keturunan. Bahkan makhluk bersel tunggal pun yang bisa ber-reproduksi sendiri, hidup berkelompok atau menjadi parasit pada makhluk hidup lain. Manusia sebagai makhluk paling sempurna pun tidak. Adam diciptakan bersama Hawa, lalu berketurunan dan hidup berkelompok.

Alexis Carrel dalam bukunya, “Misteri Manusia”, menyebut kisah percobaan seorang raja Romawi yang mengurung 10 bayi baru lahir di sebuah ruangan terang, tapi tanpa komunikasi. Ibu-ibu mereka hanya diijinkan menyusui dan merawat pakaian tanpa boleh bicara atau membelai. Hasilnya, dalam 3 bulan seluruh bayi itu wafat, meninggalkan ibu-ibu mereka yang hanya bisa mengutuk tindakan raja dalam hati. Alexis Carrel menduga, bayi itu mati, karena tidak memiliki kontak sosial.

Komunikasi, yaitu aktifitas mengeluarkan bebunyian dan mendengar bebunyian, menangkap isyarat dan menyampaikan isyarat, ternyata adalah sebuah perangkat dasar manusia untuk bertahan hidup. Dengan cara itu, manusia membangun pengetahuan dan dikembangkan menjadi ilmu. Dengan cara itu, manusia berupaya memahami adanya Tuhan, yang tidak mungkin dilakukan oleh Ayam atau Cecunguk.

Tanpa komunikasi, peradaban tidak tumbuh. Tanpa komunikasi, manusia tidak berkembang menjadi manusia. Karena itu, salah satu elemen komunikasi, yaitu mengeluarkan isi pikiran melalui suara yang diproduksi mulut, adalah hak azasi manusia. Makanya, bebunyian lain yang tidak berisi buah pikiran dan tidak keluar dari mulut, seperti Kentut, tidak disebut hak azasi manusia.

Aktifitas komunikasi, semakin hari, semakin rumit, karena perkembangan teknologi. Jaman dahulu, orang bicara dengan kosa kata terbatas. Orang Eskimo hanya memiliki 3000 fonem. Tapi setiap fonem bisa digunakan untuk ribuan fenomena.

Suku Anak Dalam di Riau, tidak mengenal huruf tetapi memiliki struktur bahasa. Ini adalah contoh komunikasi dasar. Saat ini, kita mengenal Fortran, Cobol, dan seterusnya ketika menyusun perangkat komputer agar masing-masing komputer bisa saling memahami. Jadi, manusia saat ini, tidak hanya menyusun bahasa untuk kalangan sendiri, tetapi juga bahasa untuk mesin.

Anehnya, manusia menyusun bahasa untuk mesin, mereka berupaya sekeras mungkin membangun cara untuk mesin-mesin itu agar bisa saling mengerti masing-masing sistem mekanik yang amat bervariasi. Manusia membangun sistem enkripsi yang rumit agar keunikan mekanik masing-masing mesin yang mereka kembangkan tetap terpelihara, sekaligus tetap bisa bekerjasama.

Tetapi anehnya, manusia yang menciptakan paradigma itu, tidak menjalankannya. Masing-masing terus berupaya agar keunikan kelompok-kelompok manusia yang ada musnah dan muncul satu sistem kelompok manusia yang tunggal. Seolah enggan memahami keunikan masing-masing dan bekerjasama dengan hal itu. Trend inilah yang harus diwaspadai.

Kecenderung kelompok manusia tertentu yang ingin memaksakan sistem pengetahuan mereka kepada kelompok manusia lain. Seolah kepercayaan mereka adalah kebenaran mutlak dibanding yang lain. Seolah darah dan daging mereka lebih unggul dan yang lain layak dimusnahkan. Inilah yang musti diwaspadai.

Fungsi komunikasi adalah untuk menjaga agar lingkungan semesta tetap layak dihuni oleh segenap makhluk. Seperti yang diamanahkan Tuhan kepada manusia. Komunikasi fitrahnya adalah alat untuk menyambung generasi manusia. Bukan untuk saling memusnahkan.

Kembali pada kecenderungan masa kini. Komunikasi berubah menjadi amat rumit. Jarak komunikasi tidak lagi dalam skala pandangan mata. Jaman doeloe, masyarakat Indian mengembangkan komunikasi isyarat asap untuk mengatasi jarak dan waktu. Graham Bell membangun alat yang merevolusi isyarat asap, alat yang disebut telepon.

Samsung kini mengembangkan alat yang tidak cuma telepon dan PC, tetapi juga alat presentasi di kantor, perekam suara dan pesawat penerima siaran televisi dan radio. Semuanya hanya dalam genggaman tangan. Komunikasi hari ini, telah berevolusi. Semua karena tuntutan gaya hidup manusia. Kini, bayangkan jika semua itu dilarang. Dilarang menyaksikan televisi, mendengar radio, atau mengirim SMS. Dilarang ngobrol jika tidak bertatapan wajah langsung, dan sebagainya.

Kembali lagi ke ide semula. Salah satu pengembangan sistem komunikasi kiwari, adalah apa yang disebut media komunikasi. Sebuah benda yang digunakan untuk memperpanjang dan memperkuat fungsi komunikasi.

Selain telepon yang sifatnya media komunikasi pribadi, ada pula yang dikenal dengan media komunikasi publik, atau media komunikasi massa. Media yang fungsinya, sama dengan fungsi komunikasi. Melestarikan lingkungan semesta agar tetap layak dihuni oleh segenap makhluk.

Bedanya dengan media komunikasi pribadi, media massa dioperasikan oleh seperangkat sumber daya manusia yang bekerja sebagai jurnalis/wartawan. Mereka bertugas mengumpulkan realitas di seputar kehidupan manusia, dengan fungsi memperpanjang mata dan telinga. Mereka mengumpulkan semua pikiran, untuk memperluas kemampuan otak. Mereka mengumpulkan semua fakta dan data untuk memperluas pengetahuan dan kemampuan bertahan hidup manusia. Karena fungsi inilah pula, integritas jurnalis/wartawan harus dijaga.

Menjaga integritas jurnalis/wartawan dalam bekerja, adalah juga menjaga hak azasi manusia. Menjaga kebebasan pers, juga menjaga hak azasi manusia. Kebebasan pers tidak pernah kebablasan. Yang ada adalah penyimpangan integritas jurnalis/wartawan. Sebab kebebasan pers adalah bagian integral dari hak azasi manusia. Tidak ada pelaksanaan Hak Azasi Manusia yang kebablasan toh?

Menyebut Kemerdekaan Pers kebablasan adalah kesalahan pandang pada sebuah persoalan. Seharusnya ketika produk media bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat, maka yang harus ditilik adalah para pengrajinnya. Para Kuli Tinta yang bekerja memproduksi materi komunikasi massa. Integritas mereka yang musti ditilik. Jangan-jangan, inti persoalannya adalah maraknya pelanggaran etik profesi para wartawan.

Setuju tidak? Pasalnya, jika seseorang tidak punya batas susila, etik dan moral, maka hidupnya tidak lebih dari hidup seekor hewan. Justru hak asazi manusia dibuat secara tertulis, untuk memelihara harkat kemanusiaan manusia. Tugas wartawan adalah untuk menjaganya. Ingat dengan kisah Tintin?
***

Jika saja Herge hidup hingga 100 tahun lebih, mungkin ia masih sempat menambah satu lagi koleksi serial komik Tintin ciptaannya, dengan kisah yang sad ending, ketika akhirnya Tintin harus mati terbunuh. Tapi waktu rupanya hanya mengijinkan Herge menyelesaikan beberapa lembar saja, halaman pertama edisi terakhir yang diberi judul oleh penerbitnya Lotus Biru, sebelum wafat.

Komik Tintin menggambarkan betapa dunia wartawan adalah dunia khayal yang indah, menyenangkan, sekaligus penuh petualangan dan bahaya. Herge menggambarkan Tintin yang tidak pernah kuatir dengan uang di saku, juga tidak pernah diperlihatkan memeriksa buku rekening banknya.

Tintin selalu ingin tahu, sekaligus cermat dan hati-hati. Ingatannya panjang tapi ia tidak segan mencatat hal-hal kecil seperti nama, alamat juga warna baju seseorang, dan ini amat membantunya dalam merangkai beberapa peristiwa menjadi sebuah untaian kesimpulan. Tidak penakut tapi tidak pernah menantang bahaya. Selalu kreatif dalam mencari jalan keluar ketika telah tersudut tapi juga selalu bernasib untung. Berteman dengan banyak kalangan, dari mulai seorang anak nun jauh di atas pegunungan Himalaya, sampai anak Raja dari Timur Tengah. Polisi dan pengusaha. Penyanyi, ilmuwan dan pengusaha yang ternyata gembong mafia.

Di beberapa episode, kisah-kisah petualangan Tintin, diakhiri dengan sekuel laporan yang dimuat sebuah koran di Amerika Serikat. Demikian karakter Tintin digambarkan.

Namun jika dicermati, Herge rupanya berkeyakinan, wartawan seperti Tintin akan selalu menuai bahaya. Semua kisah petualangan Tintin selalu menghidangkan ketegangan yang mengancam jiwa, meski Herge selalu membuat nasib Tintin beruntung. Berbagai ancaman telah dialami Tintin. Disekap. Diculik. Dipukuli. Diracun. Ditembaki. Nyaris ditembak mati oleh barisan tentara. Di makan hiu. Didorong dari atap kereta api yang melaju. Dan masih banyak lagi.

Sedikit banyak kemiripannya, begitulah dunia wartawan saat ini. Pekerjaan ini tidak sama dengan pekerjaan seorang Sekertaris yang setiap hari duduk di kursi kantor, menunggu perintah dari majikannya sambil berhadapan dengan komputer dan telpon.

Seseorang tidak mungkin menjadi wartawan, jika ia tidak pernah ingin tahu atas sesuatu dan punya keinginan kuat untuk mencari jawaban yang benar dari keingin-tahuannya itu. Mungkin, boleh dibilang, wartawan adalah seorang filsuf. Dalam bahasa Latin, filo berarti suka atau beuki, sementara sophie adalah pertanyaan. Jadi, filsuf adalah orang yang suka bertanya-tanya. Tapi disinilah persoalan lain muncul, karena mencari jawaban ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan keingin-tahuan pun tidak perlu dimiliki oleh Oknum yang ingin diaku sebagai wartawan, karena dia bisa saja bergerombol seperti ikan tuna, pergi ke sana pergi ke sini, wara wiri mencari narasumber. Gerombolan ini tidak mencari jawaban atas keingin tahuannya, melainkan mencari sedekah dari narasumber. Ini yang disebut wartawan gadungan.

Wartawan asli, seperti Tintin, memiliki rasa ingin tahu yang besar karena didorong oleh kepedulian terhadap kehidupan sosialnya. Pada nilai-nilai moral yang harus ditegakkan. Bukan pada kebutuhan perut sendiri.

Dalam komik itu tidak pernah digambarkan upacara rutin makan pagi, siang dan malam, bukan? Itu menunjukkan betapa kepentingan individu sang wartawan menjadi amat tidak relevan dalam pekerjaan kewartawanan.

Tintin tidak pernah vested interest, justru amat peduli pada Public Interest. Herge mungkin bukan seorang pakar Jurnalistik, tapi ia lebih dulu mengungkapkan melalui gambar-gambar komiknya, elemen-elemen dasar jurnalisme yang di kemudian hari dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai elemen dasar jurnalistik dalam buku berjudul “Sembilan Elemen Jurnalisme”.
Menurut Kovach dan Rosenstiel, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kemudian, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Elemen ke-empat adalah, para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Ke-lima, jurnalisme harus bertindak sebagai pemantau kekuasaan. Ke-enam, jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menjadi menarik dan relevan. Delapan, jurnalisme harus menjaga agar berita selalu komprehensif dan proporsional. Elemen terakhir, elemen ke sembilan, para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Eleman dasar yang diungkap tadi, mengundang konsekuensi seperti yang dialami Tintin. Disekap. Diculik. Dipukuli. Diracun. Ditembaki, dan seterusnya. Betul, itu resiko pekerjaan. Tapi jangan salah, bukan berarti wartawan memang sewajarnya diperlakukan seperti itu. Bukan. Menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, pekerjaan wartawan bahkan harus dilindungi dan wartawan yang sedang menjalankan tugas juga harus dihormati setara dengan warga sipil lain. Sekali lagi setara, karena saya setuju dengan pendapat seorang pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Tjipta Lesmana, yang menyebut, wartawan bukanlah makhluk istimewa dan bukan pekerjaan istimewa pula. Saya setuju karena memang bukan pekerjaan istimewa, tetapi juga tidak lebih rendah dari maling, bukan? Tapi mengapa wartawan terus “digebukin”?

Organisasi wartawan tingkat dunia, seperti Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) dan Wartawan Tanpa Batas Negara (RSF), melaporkan, hingga hari ini tidak ada satupun negara, sekali lagi tidak ada satupun negara di dunia, yang benar-benar bebas dari kasus penganiyaan atau ancaman terhadap wartawan.

Mengapa ini menjadi persoalan, bukankah setiap hari juga ada tukang becak yang mati? atau pejabat negara atau maling yang mati? Sebab wartawan adalah seorang pekerja yang menjadi bagian dari sebuah sistem demokrasi. Wartawan menjalankan tugas untuk memenuhi hak azasi warga negara untuk mengetahui dan mengawasi jalannya pemerintahan dalam mengelola negara, untuk berpendapat dan memperoleh informasi.

Inilah sebabnya, mengapa gangguan terhadap wartawan yang sedang melakukan tugasnya, disejajarkan dengan gangguan terhadap hak rakyat dan demokrasi. “Barangsiapa yang menghalang-halangi..diancam hukuman pidana penjara..” kata UU Pers Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999.

Untungnya disebut barangsiapa, karena saat ini, pelaku gangguan (kekerasan) terhadap waratawan yang sedang bertugas tidak lagi monopoli penguasa dan aparatnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, masyarakat biasa, selebritis, anggota DPR atau DPRD, aktivis partai, kelompok preman, pengedar narkoba dan gembong judi serta pelacuran, kelompok para militer, kini ikut serta mengancam wartawan yang sedang bertugas.

Jangan kuatir, sebab itu di Indonesia, di AS saja, yang disebut gembong demokrasi, kehidupan wartawan sama juga terancamnya. IFJ dan RSF memberi tempat kehormatan pada AS di bawah rejim Bush dalam daftar teratas negara yang membatasi kebebasan pers. Sebab setelah tragedi 11 September 2000, belasan wartawan ditangkap tanpa proses hukum. Terutama ketika perang Irak berlangsung, AS membatasi ruang gerak wartawan dengan konsep embeded journalist-nya. Belum lagi wartawan yang tewas karena tembakan pasukannya sendiri yang disebut oleh militer AS dengan “friendly shot” (maksudnya tembakan anu kapecel) ke arah bangunan hotel tempat wartawan asing menginap di Bagdad.

Pahamilah, bahkan di daerah perang, wartawan hadir untuk menjamin hak rakyat untuk tahu. Tanpa kehadiran wartawan, rakyat AS tidak tahu kalau tentaranya amat kewalahan di Vietnam sehingga muncul gelombang besar menentang panggilan perang ke Vietnam.

Tanpa kehadiran wartawan, dunia internasional tidak pernah tahu jika tentara AS menggunakan bom kimia bernama NAPALM di Vietnam. Tanpa kerja wartawan, rakyat AS tidak tahu kalau Presiden Nixxon telah menggunakan segala cara untuk menang. Tanpa kerja pers, kita tidak tahu sejumlah calon legistlatif di Jawa Tengah ternyata memalsukan surat keterangan kesehatan dan di antara mereka ternyata dinyatakan sakit jiwa. Tanpa kerja wartawan, kita juga tidak tahu jika sebuah partai di Lampung ternyata mencalonkan seorang perampok sebagai calon anggota legislatif. Untung si perampok tewas dihajar peluru polisi, sebelum Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar calon tetap.

Jadi memang wajar, jika banyak pihak begitu geram melihat kehadiran wartawan. Karena mereka tidak ingin “ketahuan belangnya” Hanya orang yang tidak belang bentong yang senang melihat kedatangan seorang wartawan.

Karena itu, AJI menerbitkan sebuah buku berjudul “Panduan Meliput di Daerah Konflik” Agar seperti karakter Tintin tadi, wartawan bukanlah penakut, tapi tidak pernah menantang bahaya. Jika ditugaskan ke lapangan meliput peristiwa di daerah rawan, amat disarankan reporter membawa identitas diri dan tanda pengenal yang memadai untuk membedakan dengan cepat antara warga biasa dan wartawan. Bisa dalam bentuk Name Tag yang besar, atau rompi, atau topi, yang dapat menunjukkan identitas wartawan dari jarak yang jauh.

Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah perilaku wartawan sebagai pekerja. Sebagai profesional yang menyadari tugas sebagai pengemban hak publik untuk tahu, wartawan memiliki perangkat Kode Etik agar interaksi wartawan dengan lingkungan sekitarnya ketika bekerja dan hasil karyanya benar-benar memenuhi standard.

Pelajarilah kode etik ini dan amalkan. Karena selain berhak membuat berita, wartawan juga wajib hukumnya memberi hak jawab pada pihak-pihak yang ditulisnya. Di sinilah mengapa Tintin mengenal banyak orang. Pendapat dan selera pribadi, tidak penting dalam kehidupan wartawan. Ia harus mau mendatangi kompleks pelacuran dan mewawancarai pelacur untuk mengimbangi berita tentang kompleks pelacuran. Ia harus mau bersalaman dengan penderita HIV AIDS. Juga tetap mewawancarai seorang presiden yang keji tanpa bersikap seperti orang yang jijik melihat bangkai.

Memang betul, pekerjaan ini amat menantang karena wartawan bukan kerja kantoran. Jalan-jalan terus setiap hari. Tapi seorang wartawan mungkin tidak akan se-terkenal dan kaya seperti seorang bintang film dan konglomerat. Wartawan itu hanya kaya kalbu, ilmu dan sahib. Karenanya, gaji minim bukan alasan untuk menerima sogok dari narasumber. Terimalah amplop hanya dari majikan Anda nanti.

Nursyawal adalah pengajar Broadcast Journalism and Management di STIKOM Bandung, perwakilan Radio Suara Jerman Deutsche Welle untuk Indonesia
E-mail : korupsi_yuk @ yahoo.de

 

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

aji.solokota@gmail.com